Tuhan, Kurangkah Aku Mengabdi?

Tuhan, Kurangkah Aku Mengabdi?




Barangkali aku memang tak tahu rahasia-Mu. Tapi, sungguh, aku tak kuasa lagi

menanggung ujian-Mu. Hidupku baru 29 tahun. Tapi penderitaan yang kualami

seperti tak ada putusnya. Ketika aku tengah kuliah, tiba-tiba ayah kena

stroke. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Usaha toko kelontong yang

dijalankan ayah, nyaris habis untuk biaya. Dan ketika ayah mulai berangsur

sehat, meski tak lagi bisa beraktivitas, gantian ibu yang sakit.



Aku sebagai anak pertama, turun tangan. Kulepaskan kuliah, mengambil cuti,

untuk mengurus toko kelontong ayah di pasar. Hanya dengan jalannya usaha itu

saja kami akan bisa tetap bertahan. Hanya dengan pengorbananku saja, dua

adikku akan tetap bisa sekolah.



Ternyata aku tak pernah bisa lagi kembali ke bangku kuliah. Aku harus

menggantikan fungsi orangtuaku bagi adik-adikku. Ayah memang sudah bisa

berjalan, tapi itu pun gemetaran, dan dokter menganjurkan untuk tak bekerja

berat. Ibu pun sama, malah lebih parah, hanya bisa duduk di kursi roda.

Untunglah, adik ibu yang janda tanpa anak, dapat membantuku mengurus

orangtua, sehingga aku bisa fokus mengelola usaha.



Pelan tapi pasti usaha kelontong itu berkembang lagi. Dan kondisi ayah kian

membaik. Ayah bernazar, jika sudah pulih seperti sedia kala, beliau akan

menunaikan haji. Dan niat baik itu terlaksana. Dengan senang aku mengantar

ayah, membereskan semua urusannya. Ibu hanya menangis di kursi roda, karena

tak mampu mendampingi ayah. Tapi aku tahu, tujuan ayah ke sana cuma satu,

ingin berdoa bagi kesembuhan ibu.



Namun, kepulangan ayah dari haji, justru menjadi kepulangan ibu untuk

selamanya. Ibu kena serangan stroke lagi dua hari setelah ayah sampai, dan

tak tertolong. Kami histeris. Cuma ayah yang tampak tenang. Ternyata ayah

sudah pasrah. Kata ayah, doanya terkabul. Di tanah suci, ayah ternyata

berdoa kesembuhan untuk ibu, atau jika memang sudah tak ada harapan,

janganlah diperpanjang penderitaannya. Ayah percaya, itu jalan terbaik bagi

ibu. Tapi aku tak bisa menerima. Aku merasa gagal menjadi anak, gagal

membuat ibu sehat lagi. Padahal semua telah aku korbankan untuk ibu.



Ayah sehat dan kembali dapat membantuku mengelola toko. Dua tahun setelah

ibu meninggal, adikku kuliah. Dan ayah ingin aku kembali bersekolah. Tapi

aku sudah malas. Tak ada lagi keinginan setelah ibu tiada. Setahun

berikutnya, aku menikah dengan teman kuliahku, yang sangat berjasa

mendampingiku di masa-masa sulit. Mas Arie telah bekerja, dan ayah sangat

merestui pernikahan kami.



Tapi, ujian memang tak pernah lepas dari hidupku. Ketika aku hamil 5 bulan,

ayah kena stroke lagi. Dan tak dapat bicara. Barangkali, setelah aku

menikah, ayah memang terbebani untuk mengurus toko dan distribusinya. Aku

merasa berdosa. Lewat tulisan tangannya, ayah meminta aku tabah. Ayah

berharap aku tetap sehat dan dapat memberi ayah cucu, sebelum dia berpulang.

Aku menangis, dan berjanji akan memenuhi harapannya.



Nah, dalam kondisi itu, akhirnya suami keluar dari pekerjaannya, dan

mengurus toko kelontong kami. Dia berkorban untuk keluarga karena tak

mungkin aku menanggung semuanya. Apalagi ayah berpesan apa pun yang terjadi,

toko itu tak boleh diabaikan. Suami sangat membantu.



Tapi, dalam kondisi yang suram begitu, adikku malah membuat masalah. Dia

menghamili gadis teman kuliahnya. Aku panik. Orangtua si perempuan datang

dan meminta pertanggungjawaban. Mereka meminta bertemu dengan ayah. Tapi

sekuat tenaga aku mencegah. Suami pun berjanji akan membuat adikku

bertanggungjawab, menikahi, tapi kami meminta agar masalah itu tak sampai ke

telinga ayah. Mereka mau mengerti tetapi tak ingin pernikahan itu dilakukan

dalam waktu yang lama, karena usia kandungan anak mereka sudah memasuki

bulan kedua. Aku hanya bisa menangis, dan memeluk adikku yang bersujud minta

maaf. Aku tahu, adikku memang jadi "berbeda", dan mencari cinta di luar

rumah. Ia cuma terjebak pada lingkaran masalah di keluarga.



Pernikahan pun dilakukan di rumah si perempuan. Semua tanpa setahu ayah.

Kami semua merahasiakannya. Tiga bulan kemudian, aku melahirkan bayiku,

lelaki. Kuberikan pada ayah, yang menimangnya di kursi roda dengan tangis.

Ayah bahagia sekali. Aku tahu, hidupnya pasti bergairah sekaligus sedih

karena tak bisa ikut menjaga cucu pertamanya. Tapi aku bersyukur ayah kian

sehat dan tambah semangat.



Empat bulan kemudian adikku juga punya anak dari istrinya. Tapi kami

kesulitan untuk membetahukan pada ayah. Namun aku tak ingin berbohong terus.

Suami pun mendukung. Maka, setelah merasa ayah dapat mengerti dan kuat, kami

pun bercerita. Adikku meminta maaf, bersimpuh, dan sekaligus mengenalkan

istri dan anaknya. Ayah cuma diam, mengelus rambut adikku dan memeluk cucu

keduanya. Aku tahu, ayah pasti sedikit menyalahkan dirinya atas kenakalan

adikku.



Meski begitu banyak masalah yang menimpa keluarga kami, aku tetap meminta

adikku kuliah, juga yang ketiga. Dan untunglah, mereka tetap semangat, dan

kemudian adikku yang nomor dua diwisuda. Ayah senang sekali, bangga sekali,

dan memaksa datang meski berkursi roda. Kami merasa masa-masa sulit kelurga

kami sudah selesai.



Tapi, setahun kemudian, adikku terkena bencana. Mobil yang dikemudikannya

tabrakan di daerah pantura. Adikku tak selamat. Aku tahu lagi mengapa

bencana tak pernah pergi dari rumah kami. Ayah yang kami kabari, hanya bisa

menangis. Aku mencoba kuat, dibantu suami, kami selesaikan semua perkabungan

itu. Tapi, seminggu setelah itu, kondisi kesehatan ayah menurun. Dan di hari

ketujuhbelas setelah meninggalnya adikku, ayah pun berpulang.



Tuhan, aku tak tahu rahasia-Mu. Aku tak tahu, ada apa di balik ujian ini.

Tapi mengapa Engkau tak pernah berhenti menguji kami? Tidak cukupkah aku

kehilangan orang-orang yang aku cintai. Tidak cukupkah aku mengabdi pada-Mu,

memohon akan semua rahmatmu?



Kini rumah kami seperti kosong, tak ada gairah. Hanya ada aku, suami,

anakku, adikku, iparku, dan anaknya. Kami semua terluka, ditinggalkan

orang-orang yang kami cintai. Aku tak tahu, setelah ini, entah apa lagi

ujian yang akan datang padaku dan keluargaku. Tapi Tuhan, cukupkanlah ujian

ini. Karena aku sudah tak sanggup lagi kehilangan mereka yang aku cintai....



Cerita Arfah Afsani di Solo





oggix.com : Free Shoutbox & Complete Blog Tools




Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments