Kisah Sang Pemimpin

Hingga ketika ia melewati salah satu halaman rumah seorang penduduk,
tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada
anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia
seperti mendengar suara lirih cericit burung. Perlahan ia
mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang
tengah asyik bermain.

"Nak, apa yang berada di tangan mu itu?". Wajah si kecil mendongak,
hanya sekilas dan menjawab.

"Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung" polosnya
ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung
itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah
kesedihan "Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak
mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya"

"Bolehkah aku membelinya, nak?, karena aku sangat ingin memilikinya"
suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya
dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki
itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia
berkata "Baiklah paman" dan ia segera bangkit menyerahkan burung
kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa
keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu
dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya
seraya bergumam senang "Dengan menyebut asma Allah yang Maha
Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah*terbanglah*".

Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening
memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit
Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di
bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah
suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah
tergesa. "Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burung mu
itu?, tahukah engkau siapa lelaki mulia yang kemudian membebaskan
burung itu
ke angkasa? Dialah Khalifah Umar nak............... beliau adalah
seorang pemimpin yang berani dan tegas dalam menegakan kebenaran"

***

Malam-malam di kota Madinah, suatu hari.

Masih seperti malam-malam sebelumnya, ia mengendap berjalan keluar
dari rumah petak sederhana. Masih seperti malam kemarin, ia
sendirian menelusuri jalanan yang sudah seperti nafasnya sendiri.
Dengan udara padang pasir yang dingin tertiup, ia menyulam langkah-
langkah merambahi rumah-rumah yang penghuninya ditelan lelap. Tak
ingin malam ini terlewati tanpa mengetahui bahwa mereka baik-baik
saja. Sungguh tak akan pernah rela ia harus berselimut dalam
rumahnya tanpa kepastian di luar sana tak ada bala. Maka ia
bertekad malam ini untuk berpatroli lagi.

Madinah sudah tersusuri, malam sudah hampir di puncak. Angkasa
bertabur kejora. Ia masih berjalan, meski lelah jelas terasa.
Sesekali ia mendongak melabuhkan pandangan ke langit Madinah yang
terlihat jelita. Maka ia pun tersenyum seperti terhibur dan memuja
pencipta. Tak terasa Madinah sudah ditinggalkan, ia berjalan sudah
sampai di luar kota. Dan langkahnya terhenti ketika dilihatnya
seorang lelaki yang tengah duduk sendirian menghadap sebuah pelita.

"Assalamu'alaikum wahai fulan" ia menegur lelaki ini dengan
santun. "Apakah yang engkau lakukan malam-malam begini sendirian"
tambahnya. Lelaki itu tidak jadi menjawab ketika didengarnya dari
dalam tenda suara perempuan yang memanggilnya dengan mengaduh.
Dengan tersendat lelaki itu memberitahu bahwa istrinya akan
melahirkan. Lelaki itu bingung karena di sana tak ada sanak
saudara yang dapat diminta pertolongannya.

Setengah berlari maka ia pun pergi, menuju rumah sederhananya yang
masih sangat jauh. Ia menyeret kakinya yang sudah lelah karena telah
mengelilingi Madinah. Ia terus saja berlari, meski kakinya merasakan
dengan jelas batu-batu yang dipijaknya sepanjang jalan. Tentu saja
karena alas kakinya telah tipis dan dipenuhi lubang. Ia jadi
teringat kembali sahabat-sahabatnya yang mengingatkan agar ia
membeli sandal yang baru.

"Ummi Kultsum, bangunlah, ada kebaikan yang bisa kau lakukan malam
ini" Ia membangunkan istrinya dengan nafas tersengal. Sosok
perempuan itu menurut tanpa sepatah kata. Dan kini ia tak lagi
sendiri berlari. Berdua mereka membelah malam. Allah menjadi saksi
keduanya dan memberikan rahmah hingga dengan selamat mereka sampai
di tenda lelaki yang istrinya akan melahirkan.

Ummi Kultsum segera masuk dan membantu persalinan. Allah Maha Besar,
suara tangis bayi singgah di telinga. Ibunya selamat. Lelaki itu
bersujud menciumtanah dan kemudian menghampirinya sambil
berkata "Siapakah engkau, yang
begitu mulia menolong kami?". Ia tidak perlu memberikan jawaban
karena suara Ummi Kulsum saat itu memenuhi lengang udara.

"Wahai Amirul Mukminin, ucapkan selamat kepada tuan rumah, telah
lahir seorang anak laki-laki yang gagah"

***
Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments