Kisah Pencari Tuhan (1)

Oleh : Gene Netto

Seorang Mualaf dan Pandangannya Terhadap Islam di Indonesia

Sejak tahun 1995 saya menetap di Jakarta, dan pada saat saya bertemu

dengan orang baru, mereka selalu penasaran tentang latar belakang saya.

Saya lahir di kota Nelson, Selandia Baru pada tanggal 28 April, 1970.

Bapak saya berasal dari Myanmar dan setelah Perang Dunia II pindah ke

Selandia Baru, sedangkan Ibu saya lahir di Selandia Baru dan leluhurnya

adalah orang Inggris dan Irlandia. Saya lahir dari keluarga beragama

Katolik, namun setelah dewasa sering berfikir tentang berbagai macam

hal, misalnya tentang agama, dunia dan juga alam semesta. Seringkali

saya memandang bintang-bintang dan dalam kesunyian larut malam saya

berfikir tentang luasnya alam semesta dan proses penciptaannya. Dari

umur 9-10 tahun saya mulai membaca buku tentang agama dan topik serius

yang lain. Saya ingin tahu segala-galanya: agama, dunia, budaya,

sejarah, alam semesta... semuanya! Seingat saya, hanya saya yang

tertarik pada dinosaurus pada usia itu. Teman-teman saya yang lain tidak

mau tahu tentang dinosaurus karena saat itu film Jurassic Park belum

muncul. Hanya saya yang sering membaca tentang topik serius seperti

pembuatan piramida, agama Buddha dan Hindu, sejarah dunia, luasnya alam

semesta dan sebagainya. Seperti anak kecil yang lain, saya juga

diajarkan agama dan saya ingat menghadiri Sekolah Minggu untuk beberapa

tahun. Saya harus hafalkan cerita tentang Nabi Ibrahim (as.), Nabi Musa,

(as.) Nabi Nuh (as.) dan Nabi Isa (atau Yesus as.). Saya selalu bingung

tentang bagaimana Nabi Nuh bisa memasukkan begitu banyak binatang ke

dalam sebuah kapal. Dan bagaimana dia bisa mendapatkan binatang dari

Afrika? Dan ular yang berbisa ditempatkan di mana? Ada banyak hal yang

membingungkan saya, tetapi kisah Nabi Nuh merupakan masalah yang sangat

kecil dibangingkan yang lain. Setiap kali saya bertanya tentang agama,

saya tidak merasa puas dengan jawaban yang saya dapat. Tetapi saya tidak

selalu minta jawaban yang lebih lengkap. Saya sudah cukup tua untuk

menyadari ketika seorang dewasa mengalami kesulitan menjawab pertanyaan

saya dan oleh karena itu dia menjadi malu. Jadi saya sering merasa

bingung tetapi tidak selalu siap untuk membicarakan perasaan saya. Saya

ingin paham, tetapi hal itu tidak mudah.

Saya menjadi paling bingung dengan konsep Trinitas, di mana ada Tuhan,

Yesus, dan Roh Kudus; tiga-tiganya terpisah, tetapi tiga-tiganya adalah

Tuhan, dan Tuhan hanya satu. Tiga, tapi satu. Tuhan menjadi manusia, dan

manusia itu adalah Anak Tuhan, dan juga Tuhan. Manusia itu wafat, tetapi

Tuhan tidak bisa wafat, tetapi manusia itu adalah Tuhan. Dia wafat.

Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia itu adalah Tuhan. Berarti manusia

itu wafat walaupun dia tidak bisa wafat. Dia hidup kekal, dan sekaligus

tidak hidup kekal pada saat yang sama. Sudah bingung?. Saya menjadi

bingung dengan pastor yang mengampuni dosa orang dengan mudah sekali

tanpa bicara kepada Tuhan terlebih dahulu. Bagaimana kalau pastor itu

salah dan dosa saya belum diampuni? Apakah saya bisa mendapatkan bukti

tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa saya sudah bebas dari dosa?

Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di hari akhirat dan Dia

menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya berprotes dan

menunjuk pastor yang meyakinkan saya bahwa tidak ada dosa lagi, Tuhan

cukup bertanya "Siapa menyuruh kamu percaya pada omongan dia?" Siapa

yang sanggup menyelamatkan saya kalau pastor itu keliru dan dosa saya

tetap ada dan malah dihitung secara terinci oleh Tuhan?. Saya mulai

berfikir tentang bagaimana saya bisa mendapatkan penjelasan tentang

semua hal yang membingungkan saya. Akhirnya jalan keluar menjadi jelas:

saya harus bicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa

menjawab semua pertanyaan saya.

Pada suatu hari, saya menunggu sampai larut malam. Saya duduk di tempat

tidur dan berdoa kepada Tuhan. Saya menyuruh Tuhan datang dan

menampakkan Diri kepada saya supaya saya bisa melihat-Nya dengan mata

sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan beriman kepada

Tuhan kalau saya bisa melihatnya sekali saja dan mendapatkan jawaban

yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang, Tuhan bisa melakukan

apa saja! Kalau benar, berarti Tuhan juga bisa muncul di kamar saya pada

saat disuruh muncul. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh dan menatap

jendela di kamar, menunggu cahaya Tuhan masuk dari luar (seperti yang

saya lihat di film-film). Saya menunggu lama sekali. Sepuluh menit. Dua

puluh minit. Di mana Tuhan? Kata orang, Tuhan Maha Mendengar, berarti

Dia sudah pasti mendengarkan saya. Saya menunggu lagi. Melihat jendela

terus. Menunggu lagi. Kenapa Tuhan belum datang? Barangkali Dia sibuk?

Kena macet? Saya menatap jendela terus-terusan tanpa istirahat. Saya

menunggu sekian lama dan benar-benar memberi kesempatan kepada Tuhan

untuk muncul. Tetapi Tuhan ternyata sibuk pada malam itu dan Dia tidak

hadir. Hal itu membuat saya bingung juga. Bukannya saya sudah berjanji

bahwa saya akan percaya kepada-Nya kalau Dia membuktikan bahwa Diri-Nya

benar-benar ada? Kenapa Dia tidak mau menampakkan Diri kepada saya?

Bagaimana saya bisa percaya kepada-Nya kalau saya tidak bisa

melihat-Nya? Saya menangis dan tidur. Besok hari, saya berdoa lagi

dengan doa yang sama. Hasilnya pun sama: Tuhan tidak datang dan saya

menangis lagi. Ini merupakan contoh logika seorang anak kecil. Dalam

pengertian seorang anak, apa yang tidak terlihat, tidak ada. Apalagi

sesuatu yang begitu sulit didefinisikan seperti konsep "tuhan". Pada

saat itu, terjerumus dalam kebingungan, saya memutuskan untuk tidak

percaya kepada Tuhan dan menyatakan diri "atheis" (tidak percaya kepada

tuhan mana saja). Saya memberitahu kepada Tuhan bahwa saya sudah tidak

percaya kepada-Nya lagi. Dan saya juga memberitahu- Nya bahwa Dia memang

tidak ada dan semua orang yang percaya kepada-Nya adalah orang bodoh

yang hanya membuang waktunya dengan sia-sia. (Dalam kata lain, saya

ngambek terhadap Tuhan.) Di dalam hati, saya berbicara kepada Tuhan

dengan suara yang keras supaya Dia bisa mendengar dengan jelas

pernyataan saya bahwa Tuhan tidak ada!

Pada hari-hari yang berikut, saya memberi waktu kepada Tuhan untuk

datang dan minta maaf karena tidak sempat datang dan menampakkan Diri

pada hari sebelumnya. Saya sudah membuat pernyataan yang jelas. Tuhan

semestinya mendengar pernyataan saya itu dan memberi tanggapan. Tetapi

tidak ada tanggapan dari Tuhan. Tidak ada permintaan maaf. Akhirnya saya

mencapai kesimpulan bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Sudah terbukti.

Kalau ada Tuhan, Dia pasti akan mendengar doa saya dan menampakkan Diri.

Kenyataan bahwa Tuhan tidak menampakkan Diri membuktikan bahwa Tuhan

tidak ada!. Saya bersekolah terus dan sembunyikan kenyataan bahwa saya

tidak percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang menanyakan agama saya maka

saya menjawab "Katholik" saja. Selama SD, SMP, dan SMA saya belajar

terus tentang urusan dunia tetapi sudah malas mempelajari agama secara

serius (kecuali untuk mencari kekurangannya) karena saya menanggap agama

itu sesuatu yang membuang waktu saja tanpa membawa hasil. Kebetulan,

setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan untuk berpindah ke

Australia. Kebetulan, saya memutuskan untuk mengikuti mereka daripada

tetap tinggal di Selandia Baru. Di Australia, saya berusaha untuk masuk

kuliah Psikologi di Universitas Queensland pada tahun 1990. Saya ingin

menjadi seorang psikolog anak. Kebetulan, lamaran saya itu tidak

diterima karena nilai masuk saya kurang tinggi. Kebetulan, sebagai

pilihan kedua, saya ditawarkan tempat di Fakultas Pelajaran Asia di

Universitas Griffith di Brisbane. Di Australia, seorang mahasiswa yang

tidak diterima di dalam fakultas pilihan pertamanya, akan ditawarkan

fakultas atau universitas yang lain. Setelah kuliah selama satu tahun

dan kalau nilainya baik, dia akan diberi kesempatan untuk pindah dan

masuk fakultas pilihan pertamanya. Kebetulan, saya menerima tawaran

untuk masuk Fakultas Pelajaran Asia dengan niat akan pindah ke Fakultas

Psikologi setelah satu tahun.

Kebetulan, pada tahun pertama di dalam Fakultas Pelajaran Asia semua

siswa wajib mengikuti kuliah salah satu bahasa Asia. Ada pilihan Bahasa

Jepang, Cina, Korea, atau Indonesia. Kebetulan, saya memilih Bahasa

Indonesia karena sepertinya paling mudah dari yang lain. Saya hanya

perlu mengikuti mata kuliah itu selama satu tahun saja jadi sebaiknya

saya mengambil yang termudah. Kebetulan, dalam waktu enam bulan, nilai

saya sangat baik, termasuk yang paling tinggi. Tiba-tiba kami diberitahu

ada 3 beasiswa untuk belajar di Indonesia selama 6 bulan. Saya tidak

mengikuti seleksi karena masih berniat pindah fakultas pada akhir tahun.

Tiga teman saya dipilih. Kebetulan, salah satunya tiba-tiba menyatakan

ada halangan dan dia tidak bisa pergi ke Indonesia. Proses seleksi

dibuka lagi. Ada seorang dosen yang memanggil saya dan bertanya kenapa

tidak mengikuti seleksi dari pertama kali. Saya jelaskan niat saya untuk

pindah fakultas pada akhir tahun pertama. Dia menyatakan "Gene,

kemampuan kamu dalam bahasa Indonesia sudah kelihatan. Kenapa kamu tidak

teruskan saja Pelajaran Asia. Dalam waktu 2 tahun kamu sudah selesai.

Belum tentu kamu akan senang di bidang psikologi, tetapi sudah jelas

bahwa kamu ada bakat bahasa. Coba dipikirkan kembali.". Setelah berfikir

secara mendalam tentang masa depan saya, akhirnya saya memutuskan untuk

meneruskan pelajaran saya di Fakultas Pelajaran Asia itu dan juga

mengikuti proses seleksi untuk beasiswa tersebut. Kebetulan, setelah

proses selesai, saya dinyatakan menang dan akan diberangkatkan ke

Indonesia pada tahun depan (1991). Sekarang saya menjadi lebih serius

dalam pelajaran saya karena sekarang ada tujuan yang lebih jelas.

Kebetulan, pada suatu hari diadakan acara barbeque (makanan panggang)

untuk Klub Indonesia. Semua orang Indonesia di kampus diundang untuk

bergaul dengan orang Australia yang belajar tentang Indonesia. Pada saat

saya sedang makan, ada orang Indonesia yang datang dan, kebetulan, dia

duduk di samping saya. Dia bertanya "Kamu Gene, ya?" Ternyata dia pernah

dengar tentang saya dari seorang teman. "Apakah kamu pelajari agama

Islam, Gene?" Saya jelaskan bahwa memang ada mata kuliah tentang semua

agama di Asia termasuk agama Islam. Dia berlajut, "Apakah kamu sudah

tahu bahwa di dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa? Tidak

ada pendeta atau pastor yang boleh mengampuni dosa orang!"

Saya begitu kaget, saya berhenti makan dengan hotdog di tengah mulut.

Saya suruh dia menjelaskan lebih mendalam lagi. Ini ternyata bukan

sebuah kebetulan! Inilah sebuah jawaban yang telah saya cari selama 10

tahun. Di dalam Islam hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Saya

mulai berfikir: Apakah mungkin di dalam agama Islam ada logika dan

ajaran yang bisa saya terima oleh akal saya? Apakah mungkin ada satu

agama yang benar di dunia ini? Dari semua kebetulan yang membawa saya ke

titik itu, tiba-tiba semuanya terasa sebagai sesuatu yang terencana, dan

sama sekali tidak terjadi secara kebetulan saja. Ternyata ada

serangkaian "kebetulan" atau kejadian yang membawa saya ke kampus itu

dan pelajaran bahasa Indonesia. Tetapi dari pandangan orang yang percaya

kepada Allah, tidak ada "kebetulan" sama sekali di dunia ini!. Dari saat

itu saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam secara mendalam.

Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang beragama

Islam. Secara pelan-pelan saya mempelajari Islam untuk mencaritahu

apakah agama ini benar-benar masuk akal atau tidak. Pada tahun 1991,

saya dan dua teman kuliah menjalankan beasiswa untuk kuliah di

Indonesia. Saya belajar di Universitas Atma Jaya di Jakarta dan kedua

teman yang lain itu dikirim ke Salatiga dan Sulawesi. Pada saat saya ada

di Atma Jaya (sebuah universitas Katolik), sebagian besar teman saya

adalah orang Islam. Kenapa bisa begitu? Karena memang ada orang Islam

yang kuliah di Atma Jaya, dan saya merasa sudah paham tentang semua

kekurangan yang ada di dalam agama Kristen, jadi saya tidak tertarik

untuk bergaul dengan orang yang beragama Kristen. Saya lebih tertarik

untuk menyaksikan agama Islam dan pengikutnya dan oleh karena itu saya

menjadi lebih dekat dengan beberapa orang yang beragama Islam. Kalau ada

teman yang melakukan sholat, saya duduk dan menonton orang itu dan

memikirkan tentang apa yang dia lakukan dan kenapa.

bersambung...

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments