Terimakasih Sudah Membuatku Menangis...

Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa

"Don't judge a book from its cover", begitulah kata bijak yang sering

kita dengar untuk mengingatkan agar kita tidak menilai orang lewat

penampilannya, karena penampilan lahiriah bisa menipu kita. Orang yang

dari luarnya terlihat hebat, belum tentu memiliki hati dan pemikiran

yang hebat. Sebaliknya, orang yang di mata kita terlihat sangat

sederhana, belum tentu memiliki hati dan pemikiran yang sama sederhananya.

Pelajaran itu saya alami dari sosok seorang teman di kantor, yang di

mata saya dan di mata sebagian teman-teman saya, selama ini terlihat

sebagai sosok yang "selengek"an, cuek dan dianggap masih ABG alias Anak

Baru Gede.

Usianya memang relatif masih muda, masih di awal 20-an, sebut saja

namanya Ikhwan. Tingkahnya yang kadang masih seperti ABG, terkadang

membuat kami tertawa. Apalagi penampilannya yang jauh dari rapi,

terutama rambutnya, yang menurut teman saya itu memang jarang bahkan

enggak pernah disisir kalau habis mandi. Kebayang kan...

Awalnya, saya melihat sosok Ikhwan sebagai sosok anak muda lazimnya,

yang baru melangkah dewasa. Yang masih senang hura-hura, kongkow-kongkow

ke sana kemari sama teman-teman seusianya, tidak seperti teman-teman

kantor lainnya, terutama yang laki-laki, yang memang mayoritas sangat

religius dan Islami.

Tapi ternyata, anggapan saya itu salah besar! Ketika suatu petang,

selepas sholat maghrib saya melihatnya sedang membaca al-Quran, bukan

cuma membaca tapi juga mencoba menghapal. Besok-besoknya, saya melihat

teman saya itu bertilawah dengan rutin.

Awalnya, saya cuma memperhatikan saja sambil bergumam di dalam hati,

"Wah, ternyata ni' anak rajin juga baca Qurannya. Dihapal lagi...." Saya

sendiri, membaca Qur'an saja tidak rutin, apalagi kepikiran buat

menghapal. Terbersit rasa salut pada teman saya itu, tapi saya tidak

pernah bertanya secara langsung tentang kebiasaannya itu. Hingga suatu

sore... Ketika saya secara tak sengaja ngobrol panjang dengan teman saya

itu, sayapun menangis dibuatnya. Saya menangis karena saya tidak bisa

seperti teman saya itu. Saya menangis karena saya iri dengan keikhlasan,

kebaikan dan ketaqwaannya sebagai seorang Muslim.

Ternyata, di balik penampilannya yang "selengek"an, teman saya menyimpan

pemikiran-pemikiran yang besar, yang begitu peduli dengan kondisi umat

Islam selama ini, yang begitu berhati-hati menjaga perilakunya sebagai

seorang Muslim dan sangat mencintai serta menghormati ibunya.

Subhanallah. ...

Sore itu, teman saya bercerita banyak tentang kehidupannya dan bagaimana

al-Quran mengubah jalan hidupnya, menjadi sosok yang sangat mencintai Islam.

"Kalau saya melihat orang Islamnya, saya mungkin enggak mendalami Islam,

mbak, " kata teman saya itu.

"Tapi saya membaca al-Quran dan saya menemukan ajaran-ajaran dalam

al-Quran yang begitu menyentuh perasaan saya, " ujarnya. Saya

mengangguk-angguk.

"Itulah sebabnya saya selalu mencoba rajin tilawah dan menghapalnya.

Mbak tahu kenapa?" tanyanya. Saya cuma menggeleng.

"Saya ingin menjadi anak yang shaleh, yang bisa menjadi penolong bagi

ibunya di akhirat kelak, " ujarnya. Teman saya pun bercerita tentang

ibunya dan bagaimana ia sangat mencintai sang ibu dan bercita-cita ingin

membahagiakannya. Saya melihat ada yang menggenang di pelupuk matanya,

ketika teman saya itu menceritakan tentang sang ibu. Saya cuma diam, tak

berkomentar.

"Ada tiga hal yang bisa membuat saya menangis, " katanya lagi.

"Apa?" tanya saya.

"Pertama, kalau saya mengingat ibu saya. Kedua, ketika saya membaca arti

ayat-ayat al-Quran, dan ketiga, ketika saya membaca dan mendengar

kisah-kisah perjuangan di Palestina. Saya bisa menangis, karena saya

merasa amaliyah saya di dunia ini masih sangat sedikit... " tutur teman

saya. Sorot matanya memancarkan kegelisahan.

Kali ini, saya betul-betul merinding mendengar penuturannya. Tiba-tiba

saja seperti ada pisau yang amat tajam yang mengiris jiwa saya. Selama

ini, tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk menghitung amalan saya

di dunia, apakah sudah cukup bekal saya jika sewaktu-waktu dipanggil

sang kuasa. Selama ini, saya hanya berempati dengan penderitaan

saudara-saudara saya di Palestina, tapi tak pernah menangis

memikirkannya. Selama ini, rasanya saya tidak memiliki cinta sebesar

cinta yang dimiliki teman saya itu pada sang bunda. Tiba-tiba saja, saya

merasa begitu kerdil dan merasa iri melihat cara berpikir teman saya itu

yang ternyata lebih dewasa dari usianya.

Saat sholat ashar sore itu, saya betul-betul menangis di hadapanNya,

menangisi segala kekurangan, kelemahan dan kebodohan saya selama ini.

Memohon ampunan atas segala kesalahan dan sebulat tekad untuk membenahi

diri dan menjadi orang yang lebih baik, teriring rasa syukur karena

telah memberikan seorang teman yang telah menjadi cermin kebaikan bagi saya.

"Teman, hanya doa yang bisa aku panjatkan, sebagai rasa terima kasih,

semoga Allah swt mengabulkan semua cita-citamu dan tetap membimbingmu

agar senantiasa menjadi cermin kebaikan bagi orang-orang di sekitarmu...

" amiin....

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments