Dakwah....

Oleh: A. Mustofa Bisri

“Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati wal mau’izhatil hasanati wa jaadilhum billatii hiya ahsan; inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bilmuhtadiin.”

Ayat 16. al-Nahl: 125 ini merupakan perintah Allah kepada utusan-Nya, Rasulullah SAW untuk berdakwah, mengajak ke jalan Tuhannya, agama Allah; dengan hikmah dan nasehat yang baik. Bila perlu berdebat, agar dengan cara yang paling baik.
Ayat ini ditutup dengan penegasan Allah bahwa sesungguhnya Ia lebih tahu mengenai siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat hidayah dan benar.

Dakwah ialah mengajak. Bukan menyuruh atau memaksa. Meskipun jalan Allah jelas adalah jalan yang paling benar menuju ke kebahagiaan dan Rasulullah SAW adalah pemimpin yang sangat mendambakan kebahagiaan semua orang. Namun, beliau tidak bisa ‘menyuruh’ dan memaksa orang untuk itu. “Innaka laa tahdii man ahbabta;” firman Allah surah al-Qashash,“ Waakinnallaha yahdii man yasyaa’ wahuwa a’lamu bilmuhtadiin.” (Q. 28: 56) “Sungguh engkau (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai (sekali pun), tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Kewajiban Rasulullah SAW dan kita yang ingin melanjutkan perjuangannya ialah berdakwah, mengajak. Dan dakwah atau mengajak itu, menurut Tuhan yang memerintahkannya, dengan tiga cara yang disebutkan dalam ayat 125 surah al-Nahl itu. Dengan hikmah, nasehat baik, dan berdebat dengan cara yang paling baik.

Hikmah (ada yang mengartikan al-Quran; ada yang memaknai al-Quran dan Sunnah Rasul SAW; dan ada juga yang menafsirkan sebagai bijaksana); nasehat yang baik; dan berdebat dengan cara yang paling baik, sesuai sekali dengan makna dakwah atau ajakan. Di samping itu, juga sesuai dengan maqam Nabi SAW dan kita yang tidak mempunyai wewenang memaksa. Allah SWT ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun kepada Raja yang selalim Firaun pun berpesan,“Faquulaa lahu qaulan layyinan...” (Q. 20: 44) “Dan berkatalah kalian berdua kepadanya (kepada Firaun) dengan perkataan yang halus…”

Dalam kondisi kita mesti berdebat, Allah pun mengingatkan,“Walaa tujaadiluu ahlal kitaabi illa billatii hiya ahsan..” (Q. 29: 46) “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik..”

Ternyata, dakwah yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan dicontohkan Rasulullah SAW, bukan saja paling baik, tapi juga terbukti berhasil. Di negeri kita, sebagai contoh, para da’i pendahulu dan Walisongo telah membuktikan keberhasilan yang luar biasa. Dari negeri yang penduduknya rata-rata tidak mengenal Allah dan Rasulullah SAW, menjadi negeri yang mayoritas memeluk agama Islam. Seandainya mereka dulu dalam berdakwah, tidak dengan semangat mengajak, tapi memaksa, tidak menggunakan cara hikmah, tapi semau mereka sendiri, tidak dengan nasehat dan ajaran yang baik, tapi menggurui dan mengancam, boleh jadi negeri ini tidak pernah mengenal falsafahnya. Falsafah Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhiid), kemanusiaan yang adil dan beradab (Insaaniyah), Persatuan Indonesia (Ukhuwwah), kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Syuuraa bainahum), dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments