Tradisi Lebaran, Tradisi Melebur Dosa

Oleh: A. Mustofa Bisri

Pada akhir-akhir bulan ramadhan, menurut pengetahuan saya, mukmin yang baik umumnya akan mempergiat pendekatannya kepada Allah dengan memperbanyak ibadat, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, dan berbuat baik kepada sesama. Entah itu dilakukan karena ingin “menjaring” lailatul Qadr, yang konon mungkin jatuh pada akhir-akhir bulan ramadhan, atau karena “meratapi” perginya bulan ampunan yang suci, atau justru itu didorong oleh kewatakan yang semakin menebal dalam diri.
Tapi, marilah kita lihat kegiatan kebanyakan kita pada akhir-akhir bulan suci ini. Kesibukan mudik yang memacetkan jalan, ibu-ibu yang tiba-tiba seperti pengusaha kue, para penjahit yang lembur siang malam, pasar dan supermaket yang sesak, lalu-lalangnya parsel dirumah-rumah para “Bapak”, iklan tayangan teve yang aduhai, dan teruskan sendiri. Semuanya seperti dalam kemaruk massal meng-hayubagyo datangnya lebaran. Hari terbuka dari puasa sebulan. Dan puncaknya Lebaran itu sendiri. Seolah-olah, itulah hari gembira, dimana jor-joran pakaian dan makan pun “direstui” agama.

Persis seperti itu menjelang berbuka puasa sehari yang diinting-inting sejak pagi, kemudian dipuasai habis-habisan ketika magrib.
Semua orang seperti gregetan setengah mati dengan makanan dan minuman yang tak terjangkau di siang harinya. Bahkan, mungkin ada yang menyesal kenapa ususnya terbatas kapasitasnya makanan masih banyak yang belum tersikat, perut sudah keburu kenyang.

Kaum Muslimin memeng berhak gembira pada hari buka dan Lebaran. Namun, gembira orang muslim kan juga mesti gembira yang islami. Katanya masuk Islam mesti kaaffah, total. Kalau kaffah, ya tidak hanya salatnya, puasanya, ibadatnya saja yang Islam kan ?! Lalu, gembira yang Islami itu yang bagaimana ?

Gembira yang Islami ya gembira yang wajar. Gembira yang penuh syukur. Gembira yang tidak menafikan, apalagi melecehkan, adanya keprihatinan. Pendek kata, gembira yang tidak umbar-umbaran.

Kaum muslimin memeng patut bergembira yang menggangap puasa Ramadhan sebagai ujian patut bergembira karena ketulusan. Yang kemarin dengan iklas menjalankan perintah Allah berpuasa dan njungkung, semata-mata karena Allah, dibulan Ramadhan, patut bergembira karena, disamping telah berhasil ngelenggi pahala, dosa-dosanya yang udah lewat diampuni oleh Allah sebagaimana dijamin oleh Rasulullah saw. Sendiri.
(Man shama Ramadlaana imaanan wahtisaaban, ghufira lahu maa taqaddama mindzanbihi).

Lalu, apa kaitannya itu semua dengan tradisi Lebaran kita yang khas selama ini ?

Saya tak tahu kapan tradisi yang khas dan menarik itu mulai mengalami “distorsi” ? Tapi, saya pernah -dan masih- menduga, semula tradisi lebaran di kita ini sangat elok. Suatu tradisi yang menunjukan kearifan para leluhur kita yang memuliakannya.

Rekonstruksi pemikirannya kira-kira begini. Setelah puasa dan njungkung sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan ikhlas, hanya memburu ridho Allah, dosa-dosa kita pun diampuni.

Namun, seperti diketahui, dosa yang diampuni itu hanya yang berhubungan langsung dengan Allah. Masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing kita yang bersangkutan. Apabila anda saya sakiti atau saya zalim dan anda tidak memaafkan saya, Allah pun tidak akan mengampuninya sampai anda mau memaafkan saya.

Nah, untuk menyempurnakan ketidakberdosaan kita setelah Ramadhan itu, ditradisikanlah silahturahmi misal, saling mengujungi, dan saling memaafkan. Halal Bihalal. Sini menghalalkan dan memaafkan situ, situ menghalalkan dan memaafkan sini.

Dengan demikian pada Lebaran itu diharapakan semua macam dosa pun lebur dan kita kembali sebagaimana fitrah kita, mulus tanpa dosa.

Sedangkan makanan dan kue-kue lebaran, kiranya hanyalah merupakan ubo rampe. Karena ada kunjung-menggunjungi, patutnya hidangan disediakan sebagai penghormatan kepada tamu yang hendak berkunjung. Pahalanya terletak pada penghormatan tamu itu, atau pada niat sedekah atau hadiah yang mengiringnya. Demikian pula, agaknya, soal pakaian dan lain sebagainya.

Jadi, inti tradisi ini- wallahua’lam—yaitu silaturahmi saling memaafkan bagi penghapusan dosa antar sesama, setelah dosa terhadap Allah diampuni.

Sekali lagi, saya tidak tahu sejak kapan tradisi ini bergeser oleh rampe-nya. Sejak kapan kita menjadikan yang ubo rampe menjadi inti perhatian kita dan intinya menjadi sekedar ubo rampe.

Saya khawatir jangan-jangan-oleh pengaruh entah apa-sikap dan perhatian kita dalam banyak hal, memang sudah terbalik-balik. Yang penting kita remehkan, yang remeh kita pentingkan. Yang mudah kita persulit, yang sulit kita sepelekan. Yang mulia kita hinakan, yang brengsek kita puja. Yang kaya kita santuni, yang miskin kita abaikan. Dan seterusnya dan sebagainya.

Seperti soal dosa antar sesama itu. Dari segi kerasnya dan sulitnya dimintakan maaf, mestinya menuntut perhatian yang lebih dari kita. Mestinya, kita harus ektra hati-hati. Apalagi bila diingat rata-rata kita -khususnya manusia Indonesia- ini bukanlah pengampunan yang murah hati, dan sekaligus bukan peminta maaf yang rendah hati.
Kalo jothakan, kalaupun mau wawuh, wawuh-nya nunggu saat baik, saat lebaran.

Baru lebaran, orang mau merendahkan meminta maaf dan berbesar hati memaafkan kesalahan. Jadi bila kesempatan Lebaran ini tidak dipergunakan untuk saling memaafkan, sungguh sangat rugi dan mengkhawatirkan.

Kita tentu tidak ingin menjadi pailit kelak dikemudian, seperti digambarkan oleh Rasulullah saw. Dalam hadits shahih yang sering disitir para mubalig dalam acara halal bihalal itu, “inna ‘I muslisa min ummanatii man ya’ti yauma ‘I qiyamati...” (H.r. Muslimin dari Abu Hurairah). “orang yang benar-benar pailit-diantara umatku-ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa (seabrek) pahala salat, puasa dan zakat, tapi (sementara itu) ia datang setelah (di dunia) mencaci ini, Maka diberikanlah pahala-pahal kepada si ini dan si itu. Jika habis pahala-pahalanya kebaikannya sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya maka diambilah dosa-dosa mereka (yang pernah dizalimi) dan ditimpakan kepadanya, kemudian dicampakanlah ia ke api neraka” Nauzubillah !

Ternyata mulut, tangan kaki, perut dan angota tubuh kita yang biasa kita gunakan untuk beribadat, bersujud, berzikir, berpuasa, memberikan zakat, dapat membuat kita pailit kelak. Tidak hanya menghabiskan modal pahala yang kita tumpuk sepanjang umur kita, tapi bahkan dapat menarik kepada kita kerugian orang lain. Ini semua tentunya gara-gara kita terlalu meremehkan dosa dan kesalahan terhadap sesama.

Apabila kita memuliakan Tuhan, seharusnyalah tidak meremehkan apa yang dimuliakan Tuhan. Termasuk yang memuliakan Tuhan iyalah manusia. Apabila kita mengagungkan Allah, seharusnyalah kita menyepelekan apa yang menganggap agung oleh Allah-seperti dapat kita pahami, wallahu a’lam, -dari hadis populer diatas- adalah hubungan baik antara sesama kita, hamba-Nya ini.

Selamat Hari Raya Fitri. Semoga Allah menerima segala amal dan mengampuni segala dosa kita. Mudah-mudahan, setelah berpuasa dengan segala pantangan pada halal-halal-di bulan Ramadhan, kita dapat terus “berpuasa”-dengan pantangan pada hal-hal yang haram- termasuk dan terutama mengekang diri dari penyakit dan menzalimi sesama hamba-Nya, baik dengan mulut, tangan, atau kekuasaan.

Dan, maafkan lah saya, lahir batin !


oggix.com : Free Shoutbox & Complete Blog Tools





Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments