Kyoiku Mama

Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang

menjadi raksasa ekonomi di paro kedua abad XX adalah

etika kerja dari karyawan yang stereotipe. Orang-orang

yang biasa berbaju biru tua inilah yang merupakan

mesin penggerak salah satu sukses ekonomi terbesar

dalam sejarah modern. Beginilah bunyi cerita yang

telah melegenda, sebelum datang kesaksian dari Tony

Dickensheets. Dia adalah seorang pendidik Amerika di

Charlottesville, Virginia.

Peran Ibu

Pada tahun 1996, dia berkesempatan beberapa bulan

menetap di Jepang. Selama itu, ia berpindah-pindah

tinggal di beberapa rumah keluarga karyawan. Berdasar

pengamatannya, dia berkesimpulan, unsur kunci dari

economic miracle Negeri Sakura ini ternyata telah

diabaikan atau paling sedikit amat dianggap enteng,

yaitu peran kyoiku mama atau education mama.

Dengan kataan lain, pertumbuhan ekonomi Jepang yang

luar biasa sejak 1960 bukanlah hasil kebijakan

pemerintah melalui pekerja yang bersedia bekerja

16 jam per hari. Sementara para suami bekerja,

para istri bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak.

Dalam kapasitas sebagai ibu inilah para istri

membaktikan hidupnya demi kepastian keturunan mampu

memasuki sekolah-sekolah bermutu. Maka, di balik

karyawan Jepang yang beretika kerja terpuji itu ada

perempuan umumnya, kyoiku mama atau education mama

khususnya. Mereka inilah yang merupakan pilar-pilar

kukuh yang menyangga para karyawan itu.

Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar

biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan

pengaruh perempuan Jepang dapat dilihat dalam jalannya

pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua

hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi

sesuatu bangsa.

Jadi, perempuan Jepang ternyata berperan positif dalam

membina dan mempertahankan kekukuhan fondasi

pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja

kebangkitan ekonomi bangsanya. Ketika saya sebagai

menteri pendidikan dan kebudayaan diundang untuk

meninjau berbagai lembaga pendidikan dasar, menengah,

dan tinggi negeri ini, saya kagum melihat kebersihan

ruang laboratorium di sekolah umum dan bengkel praktik

di sekolah kejuruan teknik. Semua murid membuka sepatu

sebelum memasuki ruangan dan menggantinya dengan sandal

jepit yang sudah tersedia di rak dekat pintu, jadi

lantai tetap bersih bagai kamar tidur.

Ketika saya tanyakan kepada guru yang mengajar di situ

bagaimana cara mendisiplinkan murid hingga bisa

tertib, dia menjawab, “Yang mulia, saya hampir tidak

berbuat apa-apa dalam hal ini. Ibu-ibu merekalah yang

telah mengajar anak-anak berbuat begitu.”

Saya teringat sebuah kebiasaan di rumah tradisional

Jepang. Alih-alih menyapu debu di lantai, mereka masuk

rumah tanpa bersepatu/bersandal agar debu tidak masuk

rumah. Bagi mereka, kebersihan adalah suatu kebajikan.

Di toko buku, saya melihat seorang ibu sedang

memilih-milih buku untuk anaknya, seorang murid SD.

Ketika saya sapa, dia menyadari saya orang asing, dia

tegak kaku dengan tersenyum malu-malu. Ibunya datang

mendekati dan menekan kepala anaknya agar membungkuk

berkali-kali, sebagaimana layaknya orang Jepang

memberi hormat, sambil mengucapkan sesuatu yang lalu

ditiru anaknya.

Setelah mengetahui saya seorang menteri pendidikan dan

kebudayaan, entah atas bisikan siapa, banyak anak

menghampiri saya, antre, memberi hormat dengan cara

nyaris merukuk, meminta saya menandatangani buku yang

baru mereka beli.

Perempuan dan Pendidikan

Lebih daripada di negeri-negeri lain, kelihatannya

sistem pendidikan dan kebudayaan Jepang mengandalkan

sepenuhnya peran perempuan dalam membesarkan anak.

Karena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro

(istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan

posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga

dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu, filosofi

ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi

kunci pendidikan dari generasi ke generasi.

Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan

perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama

atau education mama. Menurut Tony Dickensheets,

hal ini merupakan “a purely Japanese phenomenon”.

Yang memantapkan itu adalah kesadaran para ibu Jepang

sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu,

dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan

anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun

pekerja.

Banyak perempuan Jepang menganggap anak sebagai ikigai

mereka, rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah

menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang

melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Jika di Barat ada anggapan perempuan berpendidikan

akademis yang melulu tinggal di rumah membesarkan anak

sebagai wasting her talents, di Jepang orang percaya,

seorang ibu seharusnya berpendidikan baik dan

berpengetahuan cukup untuk bisa memenuhi tugasnya

sebagai pendidik anak-anaknya. Kalaupun ada ibu yang

mencari nafkah, biasanya bekerja part time agar bisa

berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah.

Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih

membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan

atau menemani mengikuti pelajaran privat demi

penyempurnaan pendidikannya.

Membantu Ekonomi Bangsa

Perempuan Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa

dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan

sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi

pendidikan sama penting dengan aspek akademis, sebab

hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai

yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang

menjamin stabilitas sosial.

Mengingat kyoiku mama mampu membina kehidupan keluarga

yang relatif stabil, sekolah tidak perlu terlalu

berkonsentrasi pada masalah pendisiplinan. Lalu, para

guru punya ketenangan dan waktu cukup untuk

membelajarkan pengetahuan, keterampilan, kesahajaan,

pengorbanan, kerja sama, tradisi, dan lain-lain

atribut dari sistem nilai Jepang.

Menurut Tony Dickensheets, sejak dini para pelajar

Jepang menghabiskan lebih banyak waktu untuk kegiatan

sekolah daripada pelajar-pelajar Amerika. Lama

rata-rata tahun sekolah anak Jepang adalah 243 hari,

sedangkan anak Amerika 178 hari. Selain menambah

kira-kira dua bulan dalam setahun untuk sekolah,

sebagian besar waktu libur anak- anak Jepang diisi

dengan kegiatan bersama teman sekelas dan guru.

Bila pekerja/karyawan berdedikasi pada perusahaan,

anak-anak berdedikasi pada sekolah. Mengingat tujuan

sekolah meliputi persiapan untuk hidup bekerja, anak

didik Jepang bisa disebut pekerja/karyawan yang sedang

dalam proses training.

Walaupun pemerintah yang menetapkan tujuan sistem

pendidikan Jepang, keberhasilannya ditentukan oleh

orang-orang yang merasa terpanggil untuk menangani

pendidikan. Jika bukan guru, sebagian terbesar dari

mereka ini, paling sedikit di tingkat pendidikan dasar,

adalah perempuan, ibu-ibu Jepang, kyoiku mama. Mereka

inilah yang membentuk masa depan Jepang, melalui

jasanya dalam pendidikan anak-anak.

Maka, sungguh menarik saat di tengah gempita perayaan

keberhasilan gadis Jepang menjadi Miss Universe 2007

di Meksiko, ada berita ibu-ibu Jepang mencela

peristiwa itu sebagai penghargaan terhadap kesekian

perempuan belaka, bukan penghormatan terhadap

kelembutan dan prestasi keperempuanan Jepang.

Celaan itu pasti merupakan cetusan nurani

kyoiku mama. Berita ini bisa dianggap kecil karena

segera menghilang. Namun di tengah pekatnya kegelapan,

sekecil apa pun cahaya nurani tetap bermakna besar.

”Kyoiku Mama”

Oleh: Daoed Joesoef

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments