mahalnya Karir Wanita

(sekedar meneruskan kisah sahabat)

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak , mantan direktur

sebuah Perusahaanmultinasional. Mungkin anda termasuk

orang yang menganggap saya orang

yangberhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya

saya boleh memilih makasaya akan berkata kalau lebih

baik saya tidak seperti sekarang dan

menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang

berusia 19 tahun barusaja meninggal karena overdosis

narkotika.Sungguh hidup saya hancur berantakan

karenanya, suami saya saat ini masihterbaring di rumah

sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan

karena memikirkan musibah ini.

Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi

berat dan Sekarangmasih dalam perawatan intensif

sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa

sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa

lagi yang bisa sayaharapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan

kepergian Bik Inahpembantu kami.Hingga dia terjerumus

dalam pemakaian Narkoba.

Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa

membawa dampakBegitu hebat pada putri kami.Harus saya

akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami,

dia telahikut bersama kami sejak 20 tahun yang

lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun.

Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu

kandungnya sendiri.Ini semua saya ketahui dari buku

harian Maya yang saya baca setelah diameninggal.Maya

begitu cemas dengan sakitnya bik Inah,

berlembar-lembar bukuhariannya berisi hal ini.Dan

ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan

dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu)

Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku

hariannya "Hari ini Mamasakit di Rumah sakit" , hanya

itu saja.

Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul.

Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya.

Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan

Suami saya.

Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak

berpikir tentang

keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka.

Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam

kemudian, bahkan mungkin lebih.

Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai

untuk memikirkan urusan mereka.

Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara

keluarga, namun

sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja,

ketika hari Senin tiba

saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram

untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan

saya untuk berhenti

bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak,

saya anggap ibu

terlalu kuno cara berpikirnya.

Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan

memilih membesarkan kami 6 orang anaknya.

Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu

waktu itu katanya sangat baik.

Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi

karir dan penghasilan.

Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan

berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya,

namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan

hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu

apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi?.

Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup

mapan dalam karirnya dan penghasilan.

Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi

lebih perhatian pada

Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu

semuanya kembali seperti

asal urusan kantor dan karir fokus saya.

Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi

waktu untuk mereka,

toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan

"kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu

menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya

dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.

Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi

pemakai Narkoba.

Dan saya tidak mengetahuinya!!! Sebuah sindiran dan

protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga.

Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti

bekerja dan memutuskan

kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera

satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya ..

Namun karena Maya dan Doni keberatan maka

akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal

bersama kami.

Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan

Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan.

Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu,

bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni

malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit.

Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah

dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa

bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.

Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada

kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka,

sudah seperti ibu kandungnya!

menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas

melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya

sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya.

Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa

bik Inah.

Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara

pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan

belajar di pesantren.

Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara

itu padahal dia

paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor

saya atau ayahnya.

Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni

dan Maya tersenyum bersama.

Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat

itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan

shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke

psikolog ternama di Jakarta.

Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya

kembali berkutat dengan urusan kantor.

Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air

mata tercurah.

Maya menulis :

"Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus

siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya,

siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah,

Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa,

siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah,

siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur

..........Ya Tuhan ,

Maya kangen banget sama bik Inah"

bukankah itu seharusnya tugas saya

sebagai ibunya, bukan bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun

semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali,

seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela

berkorban apa saja untuk itu.

Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita

sinetron di TV dan saya pemeran utamanya.

Namun saya tersadar ini real dan kenyataan

yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui

siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa

mengambil pelajaran darinya.

Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh

tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa

menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya".

Biarkan saya seorang yang mengalaminya.

Saat ini saya sedang mengikuti program

konseling/therapy untuk menentramkan hati saya.

Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini

semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus

kesalahan saya, karena itu tidak mungkin!

Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya,

tapi inilah faktanya.

Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya

untuk suami dan Doni.

Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah

menyia-nyiakan amanahNya pada saya.

Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA Tuhan

seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya,

sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan,

biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan

buah hatiku tentram di sisiMu".

Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments