HARGA NAIK !!!!

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di
tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat,
sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya
tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di
tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk
di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan.
Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang
biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta
Timur. "Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?"
tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas
panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di
dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng. "Gak ada
minyaknya."

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan,
katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. "Saya
bingung. saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi
harus jualan apa. modal gak ada.keterampilan gak punya.." Pak Jumari
bercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba
kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang
cekung.

"Maaf /dik/ saya menangis, saya benar-benar bingung.
mau makan apa kami kelak.., " ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis.
Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan
kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu
mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana.
"Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar
sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak
pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang
ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di
kereta. Entah sampai kapan kami begini ."

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang
melingkar di leher. "/Dik/, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada
pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan
saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang
ini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana,
punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja.
" Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh.

"/Dik/, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati...
mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..."
Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati
menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat
kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya.
Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam
membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras
darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya.
Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup
mewah dari hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut
'anggaran negara' digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah,
fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji
dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan,
akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas
gila lainnya. /Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah! /

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya
bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat
mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para
lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang
hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli
betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah
perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para
pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung.
Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam
mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di
kasur empuk hotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan
melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang
rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis.
Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen.
Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung
menengadahkan tangan. Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak.
Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. "Nak,
ini nasi bungkus yang engkau minta." Dia makan dengan lahap. Saya
tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. /Alhamdulillah/ , saya masih
mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri,
bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran
negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap
kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang.
Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya
berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti
Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup.
Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan
mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabk an di mahkamah akhir kelak.
Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah.

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium
keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi
sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui
konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering
berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah.


Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments