RAHASIA IBU


by. Izzatul Jannah






Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”.

(QS. 31:14)



Kapan dapat objekan lagi ya? Gumamku perlahan. Barangkali uangnya dapat dibelikan baju untuk Nang. Kemarin, Bu eti sudah menawariku ikut proyeknya, tapi aku masih ujian akhir semester, ya…terpaksa kutolak. Masalahnya nilaiku harus lebih baik, agar beasiswaku tidak dicabut.

“Nih, sudah”.

“Makasih ya, Yu….”Gigi-geligi Nang yang kuning keabu-abuan menyebul, tanda hatinya girang.

“Eh, tunggu!!!”

“Aduh…yaaaa, Yu Nasrih…,” suara Nang bernada kecewa. Diliriknya celananya yang robek karena tarikan tanganku. Reflek aku menutup mulut karena kaget, melihat celana Nang yang tiba-tiba berjendela.

Sudah ndak papa, dijahit lagi saja, “ kataku pelan. Kali ini mulutnya monyong seperti kerucut. Terbayang dibenaknya Bu Sopi yang galak seperti Doberman itu menyuruhnya ke depan kelas untuk mengangkat satu kaki dan satu tangannya karena terlambat masuk kelas. Aku tersenyum kecut melihat Nang melipat mukanya, dalam hati aku tertawa menertawai kemiskinan kami.


* * *


Matahari pagi sudah membulat seperti bola raksasa berwarna merah saga di ufuk barat sana. Disekelilingnya awan kuning yang menyelimuti dengan ketat, sinar mentari tidak lagi tajam dan mengiris kulit seperti siang tadi, sekarang terasa lembut dan sejuk. Duduk sore-sore bersandar di pintu rumah bambuku ini selalu kulakukan sambil membolak-balik diktatku. Setelah shalat ashar, suasana terasa segar sekali, seperti dedaunan dan rumput yang sejak sore tadi disiram oleh Nang. Sejuk, basah dan damai.

Bau uap nasi yang ditanak ibu meruap kemana-mana, hidungku mengendus-endus menikamatinya. Perutku pun bereaksi, berbunyi seperti orkes. Nang yang masih menyiram tanaman sampai menoleh. Ia menutup mulutnya menahan ketawa, aku pura-pura tidak melihat. Tiba-tiba aku menyesal karena menolak ajakan sisi untuk mekan siang di kantin tadi, masalahnya peraturan di rumah sudah jelas, jatah makan siang untuk makan siang dan jatah makan malam untuk makan malam, bagi yang tidak makan siang di rumah dianggap sudah makan. Jadi, si Nang yang biasanya menghabiskan bagianku, karena aku lebih sering tidak makan siang di rumah. Akibatnya ya, seperti ini, aku harus rela menahan lapar sampai waktu makan malam tiba. Ditambah lagi, keluarga kami memang tidak biasa sarapan, jadi lengkap sudah perih diperutku.

“Narsih!” suara ibuku memanggil.

“Di sini, Bu…”sahutku.

“ini uang buat beli buku ….”Ibu mengulurkan sepuluh ribuan. Kedua ujung bibirku perlahan menyudut ke atas. Ibu ikut tersenyum. Kucium jemari ibu yang keras dan kuat dengan sepenuh hati. Mulutku tidak bisa berkata-kata, hanya mataku terus menatap ibu, mata ibu berkaca-kaca. Bola matanya yang hitam legam itu tiba-tiba menjadi seperti danau yang penuh dengan air.


* * *


Hari ini hatiku seperti penuh dengan bunga, balon warna-warni, bintang ,bulan, matahari, uuuuhh..alhamdulillah…. desisku berulang-ulang. Serentak aku lari ke musholla, langsung melipat lutut dan menempelkan dahi dan ujung hidungku ke atas karpet. Sujud syukur. Bayangkan! Aku diterima jadi tim peneliti muda untuk mewakili kampusku, bayangkan!! Allahu Akbar !!

Mataku menelusuri panduan pelnelitian yang baru saja diserahkan bu Eti dengan sepenuh hati. Huruf-huruf nya ku eja, kubaca berulang-ulang seperti anak es-de yang baru belajar membaca. Aku masaih belum percaya sepenuhnya, kalau aku terpilih. Proyek ini bukan main-main, puluhan mahasiswa terbaik di fakultas berebut untuk mendapatkannya. Dan aku anak penjual nasi uduk yang memenangkannya, cuping hidungku tiba-tiba terasa lebih lebar, dadaku terasa sesak karena gumpalan rasa bangga, daguku terasa lebih mendongak keatas. Eh…astaghfirullah, sadar Narsih…, kamu tidak boleh sombong!!

Sejak hari itu aku sibuk dengan penelitianku. Sejenak aku lupa pada celana Nang yang robek dipantat, pada ibu yang setiap habis subuh harus berangkat dengan nasi uduknya ke pasar. Baju Nang yang robek sudah kuganti dengan yang baru, honorku yang sepuluh ribu setiap hari cukup untuk itu. Sedangkan Ibu, ia tidak mau berhenti berjualan nasi uduk hanya karena aku sudah menerima gaji rutin, sayang katanya.

Kamarku yang sempit terasa sumpek dengan hadirnya tumpukkan kuesioner-kuesioner dan kertas-kertas kerjaku. Kutatap susunaa huruf-huruf yang tercetak dalam kuesioner-kuesioner itu, bau kertas yang menusuk dan cahaya kamar yang redup membuat huruf-huruf diatas kertas itu seperti berlarian kesana kemari. Capek sekali rasanya, tapi besok aku harus presentasi proposal awal, jadi ya harus terus, terus, terus,…

“Sudah Narsih…, jangan dipaksakan, nanti kamu sakit, nak…,”ujung jemari ibu menelusup diantara helai rambutku, sejuk, dingin, lambut. Mataku yang sudah memerah menatap ibu dalam-dalam. Perlahan kususupkan kepalaku ke dada ibu yang khas, pusingku hilang berganti rasa kantuk luar biasa. Ibu merebahkan diri disampingku lalu mendekapku rapat-rapat. Akupun terlelap bersama tumpukan kuesioner, kertas kerja dan ibu.

Sebenarnya penelitianku sederhana saja, aku ingin mengetahui kondisi sosial ekonomi para pengemis yang suka mangkal di lampu-lampu merah di kotaku. Kabarnya mereka mengemis bukan karena miskin tapi karena hanya dengan mengemislah mereka bisa mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Tak jarang mereka menipu dengan pura-pura terkena lepra atau cacat tubuh, padahal sebenarnya mereka sehat tak kurang satu apapun.

Hari ini hari pertama aku terjun kelapangan mencari data. Seorang pengemis laki-laki dengan kaki dibalut perban basah, dikerumuni lalat, jemarinya terlipat kedalam seperti penderita lepra, tampak sedang beraksi di bawah traffic light. Tangannya terayun kesana kemari mengacung-acung kearah pengendara motor dan mobil ang berhenti. Mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan suara mirip keluhan dan desahan, sesekali mulutnya menyeringai sambil membelai-belai kakinya yang dibalut perban. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tubuh laki-laki itu tampak sehat, dan aku sangat yakin bahwa dia bukan penderita lepra, dan barangkali juga kaki yang dibalut perban itu bukan kaki yang korengan tapi berisi “tape” sehingga dikerumuni lalat!!!.

Aku terus mengamainya, sambil pura-pura membaca di halte bus tak jauh dari tempat laki-laki itu mangkal. Untung saja teoriku sudah selesai, sehingga aku bebas nongkrong disini tanpa harus memikirkan kuliah. Dan barangkali aku akan mengambil topik penelitian ini sekaligus untuk skripsi, hebat bukan? Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui!!!

Ah, laki-laki itu beranjak dari tempatnya. Jalannya terpincang-pincang, kakinya jadi seperti panjang sebelah. Tangannya bergoyang-goyang kesana-kemari, mirip penari kecak. Aku tertawa geli sambil berjalan mengikutinya dari jauh. Eh, lihat sebuah truk kecil menghampiri laki-laki itu, dan dengan sekali hentakan, tubuh laki-laki itu sudah berada di bak belakang truk itu. Sesaat kemudian beberapa kepala menyembul. Muutku melebar beberapa senti, mataku membulat seketika, tubuhku rasanya kaku sekali. Ternysts meraka tidak bekerja sendiri-sendiri?! Truk itupun perlahan menjauh, meninggalkan debu yang bergumpal-gumpal yang menyesakkan dada.


* * *


“Sebenarnya pekerjaanmu itu apa to, Nduk?” tanya ibu sambil lalu. Aku tersenyum. Kepalaku menoleh kesamping menatap ibu yang sedang me-wiru kain batiknya yang sudah mulai memudar warnanya.

“Besok Narsih belikan kain ya, Bu?” kataku tanpa memperdulikan pertanyaannya.

“Kamu itu, ditanya orang tua kok? Sergah ibu dengan nada gusar. Aku terkekeh. Mataku menyipit, sampai berair karena geli melihat wajah ibu yang mirip sekali dengan Nang kalau marah. “Hei, malah ketawa, sembrono!”

“Kerjaan Narsih itu, meneliti para pengemis yang suka mangkal di lampu-lampu merah itu lho, Bu…, katanya mereka itu keadaan sebenarnya sehat, baik, dan malah ada yang kaya, punya tivi, kulkas, tapi tetap mengemis…, jadi Narsih ingin tahu kenapa mereka begitu..,”jelasku panjang lebar. Sayang sekali aku berkata-kata tanpa menatapwajah ibu. Kalau saja aku menatapnya, pasti aku bisa merasakan perubahan sorot matanya, gerak raut mukanya yang berubah aneh dan tubuhnya yang tiba-tiba menegang.

Aku kembali menekuni data-data dan foto-foto yang berhasil aku dapatkan siang tadi. Tanganku sibuk menggaris kian kemari, data-data ini masih mentah, tabulasinya pun baru bisa kususun kalu sudah lengkap semua. Aku terus menekuni pekerjaaanku tanpa memperdulikan ibu yang perlahan berlingsut menjauhiku dan kemudian keluar kamar.

Penelitianku hampir selesai, hasil wawancara beberapa responden yang kubutuhkan sudah kudapatkan. Hanya tinggal satu saja sekarang. Aku ingin mengejar seorang ibu-ibu pengemis yang biasa mangkal di dekat pasar, kemudian aku hampir berhasilmenguntitnya, tapi akhirnya gagal karena kakiku terkilir. Sekarang aku akan kejar dia sampai dapt!!!

Nah, itu dia!! Seorang wanita sebaya dengan ibuku, berkain-kain kumal, dengan wajah menghitam disana-sini, rambutnya mirip sarang burung, pasti tidak pernah disisir dan keramas bertahun-tahun pokirku. Jalannya terseok-seok seperti belum makan. Jemarinya pun gemetaran seperti orang sakit syaraf. Lusuh, kumal dan kotor, pasti bau sekali. Tanpa sadar hidungku mengernyit.

Karena jarak antara aku dan wanita itu tinggal beberapa meter, tiba-tiba wanita itu menggerakkan kepalanya menoleh kearahku. Serentak langkahku terhenti karena kaget, wanita itu membelalakkan matanya, matanya bergerak-gerak seperti melihat hantu. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat kakinya dan lari terbirit-birit, sejenak aku kebingungan, lalu tanpa pikir panjang aku mengejarnya.

Wanita itu terus berlari, jalannya tidak lagi terseok-seok, jemarinya pun tak lagi gemetaran seperti orang sakit syaraf, wanita itu sehat!!! Aku terus mengejarnya. Oh, dia terus menuruni tebing sungai dan berjalan bersicepat kearah kolong jembatan dan aku…..kehilangan.

Aku terduduk lemas, seluruh persendianku seperti dicabuti satu persatu, peluh menyembul di sekujur tubuhku, geli dan gatal rasanya. Pakaian yang kukenakan membuat aku semakin merasa panas. Tiba-tiba tanpa sengaja kulihat bayangan wanita itu melintas. Tubuhku menegang, mataku menyelidik seperti elang yang memburu mangsanya, kuhapus peluh didahiku, aku lalu beranjak menuruni tebing sungai, membiarkan tubuhku merosok kebawah.

Aku berlindung di balik lengkungan dibawah jembatan, mataku mengikuti gerak wanita itu. Dia melepas rambut yang seperti sarang burung itu dari kepalanya, masya Allah ……..ternyata rambut palsu?! Lalu menukar baju kumalnya dengan baju yang lain, kain itu…..dengan motif parang rusak yang sepertinya aku pernah lihat? Wanita itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya tepat menghadap kearahku, ia berjongkok menciduk air sungai dengan dua belah tangan kurusnya, lalu menyisir rambutnya,……….

Astaghfirullah………., Maha Besar Allah Penguasa jagad raya……..

Wanita itu, ibuku !!!!!!!!!!!!!!!


* * *

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments