Kekuatan Kata-Kata (true story Miin Bagito)

Suatu hari di suatu tempat Deddy Gumelar—tahun 90-an terkenal dengan grup "Bagito"-nya dengan nama panggung “Miing”—mengisahkan…

Sewaktu ia kecil di kampung halamannya di pelosok Banten sana; setiap sehabis lebaran ada semacam tradisi bagi anak-anak muda dan masyarakat di sana yaitu plesiran: pergi ke tempat-tempat wisata seperti kerajaan Banten, Batu Kuwung, pantai Florida, Anyer, Karang Bolong, dan pantai Carita yang merupakan satu paket seharian dengan istilah “Keliling Banten”.

Keluarga Miing bukanlah orang berpunya--untuk paket “Keliling Banten” itu dengan menggunakan truk bak terbuka setiap peserta harus membayar 3000-5000 rupiah, belum lagi nasi timbel harus bawa sendiri dari rumah yang kelak dimakan bersama-sama di tempat wisata. Babacakan, istilah di sana.

Lima ribu rupiah! (mungkin sekarang setara dengan 50 ribu rupiah). Alangkah besar jumlah itu bagi keluarga Miing. Dan Miing kecil tahu pasti bahwa orangtuanya tidak mampu mengeluarkan sejumlah itu hanya untuk plesiran, tapi jiwa kanak-kanaknya yang beranjak remaja memandang bahwa plesiran keliling Banten adalah sebuah kemewahan yang ia ingin kecap sekali saja seumur hidup.

Akhirnya Miing hanya mampu memandang kepergian teman-temannya dari pagar bambu depan rumah dengan berlinangan air mata dan dada rasa sesak. Setiap kali mereka memanggil-manggil namanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum gembira diatas truk yang mulai melaju, ia terisak dengan bibir bergetar. Ya, Allah. Betapa inginnya ia pergi seperti mereka.

Ayahanda Miing menghampiri. Ia usap kepala anaknya dengan lembut sambil berkata:

“Nak, suatu saat nanti kamu akan pergi ke tempat-tempat yang lebih jauh dan lebih indah dari yang mereka datangi.”

Kejadian itu berulang dari tahun ke tahun, sampai akhirnya ia dewasa dan perjalanan sejarah membawanya ke Jakarta,“bekerja” di radio SK (=Suara Kejayaan), dan dari situlah ia merintis karir di bidang entertainment yang memungkinkan ia pergi ke tempat-tempat jauh dan indah.

Sekarang. Miing dewasa sudah (dan selalu) pergi ke tempat yang bukan hanya Anyer, tapi Bali, Lombok, ke luar negeri, hotel berbintang, naik pesawat, menjadi selebriti dan dekat dengan pejabat negara, yang kesemuanya itu tidak dialami oleh teman-teman sekampungnya dulu.

Dan Miing masih selalu ingat kata-kata ayahnya, dan kata-kata itu pula yang memotivasi ia ketika ia mulai merintis karir: “Kamu akan pergi ke tempat-tempat yang lebih jauh dan lebih indah dari yang mereka datangi.”

***

Ibunda saya seorang wanita sederhana (semoga Allah senantiasa merahmatinya) dengan 8 orang anak yang "kair"-nya adalah menopang ekonomi keluarga dengan cara bercocok tanam di kebun yang tidak seberapa luas. Penghasilan Ayah (semoga Allah menerangi kuburnya dan memberikan tempat yang layak di sisi-Nya) tidak cukup signifikan untuk membiayai keluarga yang banyak itu. Dalam kondisi demikian maka masuklah kami kedalam "In The Line of Poorness", yang tentu saja mengganggu proses pertumbuhan masa kecil saya.

Betapa saya harus banyak menahan keinginan-keinginan karena ketidakberpunyaan itu. Apabila teman-teman merencanakan sesuatu, atau pergi ke suatu tempat yang mengharuskan kami patungan uang, saya lebih banyak menggeleng dengan hati pedih. Teman-teman akan mengeluh dan menganggap saya tidak kompak.

“Ayah tidak mengijinkan,” begitu saya selalu berkilah dan mereka akan mafhum karena Ayah saya terkenal kuat pendiriannya (baca: galak, menurut isitilah mereka). Padahal betapa saya sangat sedih tidak bisa ikut serta acara mereka, hanya karena saya tidak punya uang untuk patungan karena tidak pernah diberi uang jajan oleh Ayah. Uang bayaran sekolah, itu lebih penting dari keinginan saya manapun bagi Ayah.

Ibulah tempat saya mengadu, dan hampir bisa dipastikan kata-kata lembut ibu selalu sama setiap kali saya mengadu:

“Nak, langkah kamu panjang...”

Ketika seorang teman begitu gembira dan memamerkan sepeda mini baru yang dibelikan ayahnya betapa terbit air liur saya. Saya sempat mengelus sepeda itu, rangka besinya kokoh namun lembut begitu diusap, cat merahnya mengkilap seakan bisa untuk mengaca. Teman itu sempat menawari saya untuk mencobanya tapi saya menggeleng. Saya fikir, sepeda itu pasti mahal. Kalau rusak dan Ayah harus menggantinya, betapa besar murka Ayah.

Karena Ayah tidak pernah membelikan mainan mahal maka saya selalu berusaha membuat mainan sendiri yang bahan-bahannya banyak ditemui di kampung saya seperti kuda-kudaan dari pelepah pisang, bedil-bedilan dari bambu, mobil-mobilan dari gabus pelepah kiray yang rodanya saya buat dari sandal jepit bekas. Dan herannya, apa yang saya buat ternyata diikuti oleh teman-teman yang lain, jadilah saya trend setter. Setiap minggu atau bulan ada musim mainan. Kalau minggu ini musim bedil bambu, maka minggu atau bulan depan musim kuda-kudaan, enggrang bambu, terompet dari jerami, mobil-mobilan dan tentu saja karya kolosal kami setiap Ramadhan tiba: Meriam bambu.

Bahkan ketika di sekolah menengah saya jatuh cinta pada seorang gadis, saya menahan gejolak di dalam dada. Saya menahan keinginan yang begitu kuat meronta. Tidak mungkin, fikir saya. Tidak mungkin ‘kan terjadi. Dia begitu cantik, rambutnya hitam dan wajahnya bening, senyumnya begitu memikat dan matanya seteduh telaga. Ia anak seorang saudagar yang cukup kaya di kota kecamatan. Dan pastinya saya tidak sendirian.

Ingin saya mengadu pada Ibu, tapi saya sudah membayangkan bahwa kata-kata Ibu akan selalu sama:

Nak, langkah kamu panjang...” Terkadang saya ingin bertanya kepada Ibu apa maksud dari kata-katanya itu, namun selalu urung. Tapi lamat-lamat kata-kata itu selalu terngiang dan terpatri di benak saya.

Karena tidak mampu kuliah setahun setelah lulus saya ke Jakarta dengan satu tekad: menjadi wartawan.

Tetapi di Jakarta saya malah jadi knek bus angkutan karyawan sebuah industri pakan ternak di Tanjung Priok. Di Kemayoran, tempat saya tinggal berkenalanlah saya dengan seorang penulis karikatur sebuah harian ibukota. Saya katakan bahwa saya bisa menulis cerpen. Ha ! Gayung bersambut, dia meminta cerpen-cerpen saya dan membacanya. Saya menunggu dengan harap-harap cemas, saya dengar bunyi dari mulutnya, “Ck..ck..ck...”

Beberapa minggu kemudian cerpen saya terbit di harian itu, lengkap dengan nama saya terpampang sebagai penulisnya, sementara ilustrasinya dia sendiri yang mengerjakan. Ketika membacanya saya seperti terhipnotis, tak percaya bahwa sayalah yang menulis itu. Tak terlukiskan betapa gembira hati saya. Akhirnya hampir sebulan sekali cerpen saya terbit. Saya senang sekali karena cita-cita saya sebagai wartawan sepertinya tinggal sejangkauan lagi.

Sejarah hidup berbelok, saya berhenti sebagai knek bis dan jadi pengangguran. Pindahlah saya ke Jakarta Barat. Berdiri di depan gedung sebuah perusahaan besar yang megah. Saya ingat betul dua tahun sebelumnya sewaktu masih sekolah saya pernah berdiri di tempat yang sama, saking kagumnya saya dulu itu sempat berucap:

"Saya harus bekerja di gedung ini !"

Di Jakarta tanpa keluarga, tanpa pekerjaan, tanpa tempat tinggal resmi membuat saya menjadi buruh kasar di sebuah pabrik. Untungnya (atau celakanya?) di luar kerja saya terpikat pada seni peran/teater. Bergabunglah saya di Teater Stasiun, yang tempat berlatihnya di GOR Grogol. Asyik di teater mentas dari satu tempat ke tempat lain termasuk di Taman Ismail Marzuki, Jakarta membuat saya lupa akan tulis-menulis, padahal waktu itu cerpen saya sempat dimuat di dua majalah remaja terkemuka.

Ternyata kita tidak bisa melangkah dengan dua kaki bersamaan. Saya harus memilih antara teater atau tempat kerja saya. Keduanya menuntut totalitas. Akhirnya saya memilih yang kedua.

Tahun berganti, musim berlalu. Banyak sudah yang saya alami.

Suatu saat ketika ada acara reuni sekolah saya pulang dengan harapan bertemu dengan teman-teman semasa kecil dahulu. Dan memang, hampir semua teman saya semasa kecil berkumpul. Berceritalah kami tentang perjalanan hidup masing-masing. Sebagian mereka banyak mengeluh karena hidupnya tidak menarik, bahkan teman yang dulu punya sepeda mini merah itu merasa iri kepada saya.

Dan subhanallah ¡ Di antara mereka ternyata sayalah yang paling jauh dari kampung, dan (seperti diakui mereka) sayalah yang banyak mengalami hal-hal menarik yang tidak pernah mereka alami, bahkan pergi ke tempat-tempat yang pernah saya kunjungi hanya impian bagi mereka.

Saya senantiasa teringat Ibu saya, inilah yang Ibu maksud dengan “Langkah kamu panjang...”

***

Seorang teman pernah bercerita, ketika ia kost di daerah Ciputat sewaktu menjadi mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah, ia bertetangga dengan seorang ibu muda yang pemarah.

Dari mulut ibu muda itu selalu keluar kata-kata yang kasar dan tidak pantas didengar. Terutama bila sudah menyangkut anak laki-lakinya yang masih kecil. Entah karena memang anaknya luar biasa bandel atau si ibu muda itu yang tidak siap menjadi ibu. Cercaan dan sumpah serapah selalu menjadi santapan sehari-hari anak itu.

Mungkin karena sudah terbiasa, maka kata-kata: “Mati, luh!”, “Susah diatur, luh!”, “Ketabrak mobil, luh!” menjadi immune bagi si anak, dan bukan sesuatu yang mengganggu.

Suatu hari sepulang dari suatu tempat si ibu muda itu seperti biasa ngomel-ngomel terhadap anaknya. Entah kenapa si anak malah melepaskan tangannya dari si ibu sambil tertawa-tawa mengesalkan.

“Cepet, luh jalannya! Biar mati, luh! Susah diatur, luh! Biar ketabrak mobil, luh!” maki si ibu geram.

Sesaat setelah itu terdengar bunyi roda mobil yang berdecit di jalan raya, secara refleks si ibu loncat kepinggir trotoar karena kaget.

Si ibu muda itu siap memaki dengan sumpah serapah yang paling kotor namun ketika ia menoleh matanya hampir keluar dari rongganya. Ia menjerit histeris menubruk anaknya yang sudah tergeletak di jalan bersimbah darah, tidak jauh dari roda depan mobil yang mengerem tadi.

Si ibu itu menganggil-manggil anaknya dengan kesedihan yang memilukan. Nasi sudah menjadi bubur, anak itu sudah meregang nyawa.

***

Di Cibogo, Bekasi Al Mukarram Ustadz Arifin Ilham pernah bercerita. Sewaktu berniat untuk mempunyai istri ia berkata kepada Allah setiap kali selesai sholat tahajjud,

”Ya, Allah. Tunjukanlah kepada hamba seorang wanita yang akan menjadi istri hamba. Yang penting akhlaqnya dan agamanya ya, Allah. Perkara dia cantik, tidak apa-apa ya, Allah. Perkara halaman rumahnya luas tidak apa-apa juga ya, Allah. Perkara ia anak seorang pembesar tidak apa-apa juga ya, Allah...” Kata-kata itu diulang dan diulang terus setiap selesai sholat tahajjud.

Suatu malam Jumat ia bermimpi melakukan thawaf di Masjidil Haram, begitu tangannya hendak menyentuh dinding ka’bah ia melihat ada gambar seorang gadis di dinding ka’bah. Sewaktu dihardik seorang asykar yang membentak: ”Haram! Haram!”, ia terbangun, dan mengingat-ingat wajah gadis itu yang rasa-rasanya pernah jumpa 6 bulan lalu.

Bertanyalah ia kepada seorang teman yang akhirnya menerangkan bahwa ia memang pernah bertemu gadis itu 6 bulan yang lalu. Diberilah ia alamat dan nomor telefon gadis itu.

Setelah meminta izin kedua orangtua ia telefon nomor yang diberikan teman tadi dan subhanallah! Gadis itu sendiri yang menerima telefonnya.

Singkat cerita menikahlah Ustadz Arifin Ilham pada bulan Muharam dengan gadis yang sama persis kriterianya dengan kata-kata yang ia ucapkan kepada Allah setiap selesai tahajjud.

Dan sekarang sudah membuahkan hasil cinta kasih: anak yang lucu dan cerdas.

***

Kata-kata.

Betapa kekuatan kata-kata mampu merubah apapun bahkan yang seakan-akan paling mustahil sekalipun. Kata-kata Nabi Ibrahim AS-lah yang ”menyuburkan” bumi Mekah Al Mukaromah dengan makanan dan buah-buahan (tentu saja di atas semua itu: Allah lah yang Maha Kuasa), padahal bumi yang gersang itu tak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, sayuran dan buah-buahan. Tetapi buah aneka rupa, jenis dan macam apapun dapat dinikmati di kota tempat Baitullah itu; kata-kata seorang ibu mampu mengubah seorang Malin Kundang menjadi batu; kata-kata seorang Bung Tomo mampu mengubah bambu runcing menjadi senjata mematikan dan mengalahkan tank baja! Seorang Ade Rai bertahun-tahun yang lalu selalu berkata: ”Arnold...Arnold!” dalam setiap push-up-nya, dan kini siapapun tahu: Bahkan Arnold Schwarzenegger kalah besar dibanding Ade Rai.

Maka betapa Rasulullah mengajarkan untuk selalu berkata-kata yang baik, atau diam! Karena dampaknya sungguh luar biasa. Kata-kata adalah doa. Salam ta’dzim kepada para ulama terdahulu yang menyusun doa-doa dari para Nabi dan ulama, yang hingga kini sampai akhir zaman selalu dibaca umat ba’da sholat fardlu dan sunnah. Maka bukan suatu keanehan ternyata, doa yang dibaca—tidak hanya sekedar dibisikan atau bahkan di”tafakur”kan—mampu memotivasi seseorang atau komunitas untuk mempunyai keyakinan ”bahwa seseorang bisa menjadi apapun yang ia mau” seperti dibuktikan oleh ilmu pengetahuan kontemporer. Ucapkanlah kata-kata, ucapkanlah doa. Yakinlah dengan itu. Wallahu’alam bishshowab.

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments