Duh... Tamaknya Kita

Seketika dada ini berdegub kencang saat
mengetahui salah seorang saudara kita memperoleh
kesuksesan, dan kita merasa bahwa ia telah mengungguli
kita. Kemudian kekhawatiran membuncah dari dalam hati
bahwa saudara yang telah mendapatkan kesuksesannya itu
akan bersikap sombong kepada kita sementara kita
sendiri hanya bersungut-sungut tidak bisa
mengunggulinya. Jiwa ini tidak kuasa menanggung
kesombongan dan kebanggaan saudara kita itu, sebab
kita hanya bisa menerima kesejajaran dengan orang lain
namun tidak bisa menerima jika orang lain mengungguli
kita. Bahkan mungkin, kita bersumpah agar orang itu
kehilangan nikmatnya hingga tetap sama dengan kita
yang tidak mendapat nikmat. duh Saudaraku, tamak
sekali kita ...

Saudaraku, jika demikian, sungguh kita tak bedanya
dengan saudara-saudara Yusuf alaihi salam kecuali
Bunyamin yang merasa ayah mereka tidak lebih mencintai
mereka. Sehingga mereka harus menyingkirkan Yusuf agar
kemudian cinta dan perhatian ayah mereka tertumpah
kepada mereka saja.

Kita sering merasa lebih cantik, lebih tampan, lebih
memiliki segalanya, sehingga yang tergambar dalam hati
dari kebanggaan akan diri itu adalah bahwa harus
selalu kita yang lebih dulu mendapatkan segala
kenikmatan. Sakit dada ini, rasa benci mencuat
terhadap orang lain yang mendahului. Misalnya, ada
saudara yang mendapatkan nikmat dari Allah berupa
suami yang sholeh, tampan dengan segala kelebihan
lainnya, kita merasa bahwa seharusnya kita lah yang
lebih berhak mendapatkannya, bukan dia. Atau
setidaknya kita berharap agar kita juga mendapatkan
yang serupa agar saudara kita itu tidak mengungguli
kita. Namun ketika Allah belum juga memberikan karena
hendak menguji kesabaran hambanya, kita marah dan
kesal. duh Saudaraku, tamaknya kita ...

Padahal saudaraku, Allah telah memberikan
peringatan-Nya bahwa, "Dan janganlah kamu iri terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain." (An Nisa:32).
Masihkan kita terus merasa gundah dan tersiksa jika
saudara kita mendapatkan kenikmatan-Nya?

Di pertiga malam, mata ini begitu sembab dengan
linangan air mata harap akan ampunan Allah. Dalam
setiap do'a, tercukil keinginan agar Allah melimpahkan
rezeki dan nikmat-Nya kepada kita. Namun, ketika Allah
menguji kesabaran kita dengan menunda rezeki itu, kita
marah, putus asa, bahkan berpikir bahwa Allah tidak
mendengar do'a dan permintaan kita. duh Saudaraku,
betapa tamaknya kita ...

Kita tahu bahwa hidup tidak mungkin tanpa cobaan, kita
begitu mengerti bahwa sebagai orang beriman tentu
harus diuji keberimanan ini. Bahkan kita juga memahami
bahwa Allah tidak akan memberikan beban, ujian, amanah
di luar batas kemampuan makhluk-Nya. Namun betapa
sering kita mengeluh, menangis, merasa keberatan
dengan semua ujian hidup ini. Kita juga merasa putus
asa karena Allah belum juga mengakhiri cobaan dan
penderitaan hidup ini. Lalu kita merasa bahwa hanya
kita yang mendapatkan ujian begitu berat. duh
Saudaraku, begitu tamakkah kita ...

Tahukah saudaraku, bahwa dengan begitu berarti kita
telah membenci ketentuan (qadha') Allah, tidak suka
kepada nikmat-Nya yang telah dibagikan di antara para
hamba-Nya, dan tidak mau menerima keadilan-Nya yang
ditegakkan-Nya dalam kerajaan-Nya dengan
kebijaksanaan-Nya yang tersembunyi bagi kita, kemudian
kita mengingkari dan menganggap buruk hal tersebut.







Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments