AKU BIASA-BIASA SAJA !!!

Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang tua dari
anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti
matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan
olahraga (kinestetik) .

Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki
kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan
interpersonal?

Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti
uncountable, tidak bisa dihitung, dan sayang sekalin tidak ada
pontennya (nilainya) di sekolah, karena di sekolah hanya memberikan
penilaian kuantitatif.

Adasebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Fani (6,5
tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak sekali teman. Dan ia pun tidak
bermasalah harus berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul
dengan siapa saja dilingkungan rumahnya. Adasatu hal yang menarik
saat ia bercerita tentang teman-temannya.

"Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia,
Menggambar.. ..pokoknya pinter sekali....!" katanya santai. Vivi juga
pintar sekali menggambar, gambarnya bagus ...sekali! Kalau si Yahya
hafalannya banyaaak... sekali!"

Ya memang fani senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika
mendengar celoteh anaknya ibunya tersenyum dan bertanya, " Kalau
mbak Fani pinter apa?" Ia menjawab dengan cengiran khasnya,"

Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa saja".

Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya
tertegun, karena pada dasarnya fani memang demikian. Ia biasa-biasa
saja untuk ukuran prestasi scholastic.

Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Fani sering
diminta bantuannya untuk membimbing temannya yang sangat lamban
mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar.

Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5
tahun) bertengkar. Fani langsung turun tangan. "Sudah..! sudah, Dek!
sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siap yang mulai?"
Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur ...1Jujur itu disayang Allah..!
Sekarang salaman ya... saling memaafkan".

Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah
komentarnya!

"Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku
dirumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu sudah
punya rezeki, aku minta dibelikan ..."

Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, subhanallah anak sekecil
itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan
emosional.

Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena
betapa banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdas an
emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.

Kadang kita merasa rendah diri manakal anak kita tidak mencapai
ranking sepuluh besar disekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah
diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau
menang sendiri, sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.

Maka ketika Fani mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu
ibunya menjawab "Alhamdulillah, mbak Fani suka menolong
teman-teman, tidak sombong, mau bergaul dengan siapa saja. Itu
adalah kelebihan mbak Fani, diteruskan dan disyukuri ya..?" Ya...
ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang positif bagi
Fani. Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat
amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga
amanah.
Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk
mata dan hati.

Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan
emosional anak-anak kita? Kalu belum mulailah dari diri kita, saat ini
juga.

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments