Keimanan itu Masih Ada

Oleh Muhammad Rizqon

Pasca pembongkaran pasar Pondok Gede, para pedagang menempati pasar
penampungan tidak jauh dari lokasi lama. Kemacetan pun berpindah ke
jalan Jatimakmur Raya tempat pasar penampungan itu berlokasi. Jalan yang
sudah sempit itu kini makin sempit karena dipenuhi oleh mobil angkot
yang ngetem menunggu penumpang. Sebagian bahu jalan digunakan oleh para
pedagang untuk menggelar dagangannya.

Sementara pengunjung yang datang tetap ramai seperti biasa. Belum lagi,
beberapa bagian jalan rusak berlubang-lubang sehingga menghambat laju
pengendara mobil atau sepeda motor yang harus berhati-hati melewatinya.
Lengkaplah sudah syarat bagi sebuah kemacetan. Bagi para pengemudi
mobil, baik dari arah Jatimakmur menuju arah Lubang Buaya (Jakarta) atau
sebaliknya, harus menyiapkan kesabaran tambahan. Sedangkan bagi
pengendara sepeda motor, masih ada alternatif menghindari kemacetan
dengan melewati "jalan-jalan tikus" melalui kompleks Roda Kencana atau
alternatif jalan lainnya. Yang jelas mereka harus lebih sigap dengan
jalan-jalan kecil alternatif itu.

Suatu ketika saya mengendarai sepeda motor dari arah Jatimakmur menuju
Lubang Buaya. Saat itu hari libur dan suasana masih pagi. Saya tidak
melewati "jalan tikus" dengan pikiran jalan itu pastilah tidak terlalu
macet. Kalaupun macet saya Insya Allah bisa bersabar karena tidak
diburu-buru oleh sebuah kegiatan yang urgent. Tidak disangka, ketika
saya hampir mendekati pasar, suasana macet luar biasa. Ada truk besar
melewati jalan yang saat itu ada di depan sepeda motor saya. Semua
berjalan pelan-pelan, inci demi inchi. Di sisi kiri saya adalah sebuah
pasar penampungan yang ramai dengan orang-orang berbelanja hilir mudik
di sepanjang jalan.

Tiba-tiba tidak jauh di depan, saya melihat dua orang gadis berjalan di
sisi kiri jalan menuju ke arah saya. Nampaknya dia habis belanja
beberapa keperluan dapur. Pakaian gadis tersebut tidaklah lengkap
(menutup aurat). Memakai celana dan kaos pendek yang terlihat bahu
lengannya (you can see). Yang satu berwajah biasa dan yang satu relatif
lebih cantik.

Tiba-tiba pula dari arah belakang saya datang seorang laki-laki
bersepeda. Dia berpakaian seadanya dengan celana pendek setinggi
pertengahan paha. Rambutnya panjang berkucir dan bertopi, layaknya orang
"slengekan". Orang itu sudah berada di depan saya, sementara di sebelah
kanannya adalah sebuah truk besar bermuatan barang yang terjebak macet
di tengah keramaian pasar. Dua gadis itu berjalan makin mendekat dan
hampir berpapasan dengan laki-laki pengendara sepeda. Tiba-tiba karena
jalannya tidak seimbang, bapak pengendara sepeda itu oleng kemudian
jatuh menimpa bahu lengan sang gadis yang mulus itu. Untungnya
persingungan itu tidaklah keras. Meski demikian tetap mengundang rasa
kaget dan kesal dari sang gadis.

Gadis itu menjerit kemudian mengomeli laki-laki itu,
"Ihh.. gimana sih. Lihat-lihat apa!.Hati-hati dong!"

Laki-laki yang diomeli itu malah tertawa cengar-cengir (mrenges) sambil
menunjuki truk besar di sampingnya. Maksudnya ia hendak bilang bahwa ia
tidak sengaja menjatuhinya, truk itulah yang menyebabkan posisinya tidak
seimbang kemudian terjatuh menimpa kulit mulus gadis itu.

Namun agaknya sang gadis tidak mau terima alasan laki-laki itu. Ia pasti
mengada-ada dan pura-pura jatuh dengan maksud agar bisa bersentuhan
dengan tubuhnya, begitu kira-kira pikirannya. Kemudian dengan spontan ia
memaki,

"Huhh..Dasar buaya!"

Saya jadi tersenyum-senyum kecut melihat kejadian itu.

***

Pernah juga suatu ketika, di depan sepeda motor yang saya kendarai,
terbonceng seorang perempuan berkaos pendek, sependek batas atas celana
yang dikenakannya. Kontan saja jika miring sedikit, bagian tubuh yang
semula tertutup dan apa yang dikenakan di balik celananya akan terlihat
jelas dari belakang. Berkali-kali sang gadis membetulkan posisi (menarik
ke bawah) kaos yang dikenakannya dengan maksud menutupi bagian atau
benda sensitifnya itu. Saya berpikir kenapa tidak mengenakan kaos yang
lebih panjang saja sehingga ia tidak perlu capai-capai membetulkan
posisinya?

Pernah juga suatu ketika dalam sebuah angkot, duduk seorang gadis
menggenakan rok pendek yang agak ketat. Saya perhatikan, bekali-kali ia
membetulkan posisi roknya manakala ia tersadar posisinya tidak
menguntungkan. Saya pun berpikir, kenapa tidak menggenakan rok yang
panjang sekalian sehingga ia tidak capai berkali-kali membetulkan posisi
itu? Waduh, capek deh!

***

Saya mencoba memikirkan, boleh jadi respon si gadis yang mengatakan
'dasar buaya' atau respon gadis yang membetulkan berkali-kali posisi
kaos atau roknya itu, adalah respon bawah sadar yang berasal dari lubuk
hatinya yang benar. Ya, seakan hati mereka mengatakan "Saya malu bagian
sensitif saya dilihat orang, saya khawatir orang berbuat jahat jika
bagian sensitif saya kelihatan, saya memiliki harga diri dan tidak ingin
direndahkan, saya orang-orang baik-baik yang tidak bisa menerima
sembarang orang, saya tidak mau orang dengan bebas melihati diri saya."
Namun kenapa ia tidak menindaklanjuti dengan pakaian yang lebih baik dan
sopan di kemudian hari? Karena boleh jadi hawa nafsu yang mendominasi
dirinya berkata, "Saya cantik, saya ingin orang mengetahui kecantikan
diri saya. Saya menawan, saya ingin orang tergoda dan terpikat oleh diri
saya. Saya ingin dipuji, saya ingin disanjung."

Kejadian yang saya alami memberi hikmah akan dominasinya hawa nafsu pada
mayoritas banyak orang. Tidak hanya menyangkut masalah pakaian tetapi
juga menyangkut masalah lainnya. Pada komunitas masyarakat tertentu,
berpakaian seperti itu barangkali adalah hal yang biasa-biasa saja.
Tetapi pada komunitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan,
berpakaian seperti itu adalah hal yang luar biasa.

Dominasi hawa nafsu menjadikan pandangan seseorang tentang masalah besar
dan mendasar menjadi bias. Masalah pakaian adalah masalah besar, sebab
tidak jarang masalah pakaian ini mendorong seseorang pada tindak
kejahatan seksual, kekerasan, dan pembunuhan. Terlebih pada komunitas
yang penegakkan hukumnya teramat sangat lemah dan masyarakatnya terbuai
dengan kehidupan sekularisme.

Hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang menjadikan ketentuan
Allah dan Rasul sebagai sumber pemikirannya. Allah adalah dzat yang
harus diibadahi dan dicintai melebihi apapun juga. Muhammad SAW adalah
teladan dalam operasionalisasi kehidupan. Ibadah adalah ketaatan kepada
perintah-perintah Allah. Manusia adalah mahluk lemah dan bodoh yang
perlu dituntun dengan wahyu. Dan kehidupan di dunia pada hakekatnya
adalah ladang amal untuk kehidupan abadi di akhirat. Dengan
pemahaman-pemahaman yang bersumber dari syariat-Nya itu maka pandangan
pikirannya menjadi benar, sehingga darinya lahir amal-amal Islami (amal
shalih).

Tipe-tipe gadis seperti kisah tersebut itu boleh jadi belum tahu atau
memahami Islam secara benar. Mereka belum sadar akan sejatinya
nilai-nilai Islam yang agung dan memuliakan mereka itu. Mereka bisa
seperti itu karena masih mendasarkan pemikirannya pada hawa nafsu dan
orang-orang disekelilingnya, yang pada dasarnya juga belum memahami
Islam. Boleh jadi pula, mereka juga dalam kondisi ketidakberdayaan.
Karena kemiskinan, tuntutan pekerjaan di kantor, atau lingkungan yang
tidak kondusif.

Bagi saya, fenomena yang saya temukan itu memberi hikmah kepada saya
bahwa pada hakikatnya setiap manusia itu memiliki fithrah kepada
kebenaran. Fithrah keimanan ini ditunjukkan oleh gadis-gadis yang masih
memiliki rasa malu itu dan tidak mau harga dirinya direndahkan. Fithrah
keimanan ini tertuang dalam Al-Quran, yaitu ketika Allah mengambil
persaksian dari ruh manusia sebelum dilahirkan di muka bumi (QS 7:172).
Jadi harapan setiap orang untuk berubah menjadi baik dan kembali pada
nilai keimanan masihlah ada.

Upaya kita adalah memberi pencerahan iman. Tinggal kepada yang
bersangkutan, apakah mau mengikuti jalan kebenaran atau jalan kefasikan.

Waallahu'alamu Bishshawaab

6 Mar 08 03:16 WIB, Sumber:
http://www.eramuslim.com/

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments