Perjuangan Mempertahankan Keyakinan (2)

Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan 2 kalimah
syahadat di sebuah masjid dikota kami, disaksikan imam dan beberapa
jemaah masjid tsb. Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau harus
mengorbankan kehidupanku. Tapi aku tak pernah menyesali. Mas Fariz lalu
mengajakku segera menikah di kota kelahirannya, karena kebetulan
perusahaan tempat dia bekerja akan memindahkan dia ke pulau Jawa.

Sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah papa dan mama, kami akan
mohon restu baik2 pada mereka. Tetapi bapak satpam yg berjaga dipintu
gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan untuk tidak membuka pintu
ap
abila kami berdua datang. Sebenarnya bapak satpam tersebut bersedia
membuka pintu karena dia masih mengenalku. Tapi aku melarangnya, karena
khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia. Biarlah cukup aku saja yg
menderita, aku tak ingin orang lain ikut terkena akibatnya. Aku
tinggalkan secarik surat, yg isinya memohon doa restu dari mama papa, bahwa
aku
akan menikah dengan mas Fariz, juga aku katakan kalau aku sudah jadi
muslimah. Aku bisa lihat mata bapak satpam itu berkaca2 sewaktu aku katakan
aku
sudah jadi mualaf Awalnya keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran
keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelelah mas Fariz ceritakan panjang
lebar,
akhirnya keluarga mau memahami. Kami menikah secara sederhana di kota
tempat keluarga mas Fariz bermukim. Keluarganya amat sangat menerimaku
dengan hangat, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan ras
keturunanku. Malah ibu mertuaku amat sayang padaku.
Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di pulau Jawa. Aku amat
sangat bahagia, bisa menjadi pendamping hidup dia. Aku merasakan dia bukan
sekedar suami, tapi memang benar2 soulmate hidupku, yg aku cari2
sepanjang hidupku.

Aku hidup dirumah yg sederhana dan hari2ku aku lalui dengan penuh
kebahagiaan, dan aku tak mengeluh sedikitpun dengan yg mas Fariz
berikan untukku. Aku tak lagi bekerja, karena aku benar2 ingin mengabdi pada
suamiku, dan disamping itu semua ijasahku masih tersimpan di lemari
besi di rumah mama papa, aku tak bisa melamar pekerjaan dimanapun. Aku juga
tak mau meminta surat keterangan bekerja di perusahaan papaku. Aku ingin
buktikan bisa hidup m
andiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat
menyayangiku, tiap pagi sebelum berangkat ke kantor dia memeluku. Tiap
hari aku bawakan dia 'lunch box' untuk makan siang karena aku tak mau
makanan yg masuk ke perutnya berasal dari masakan orang lain. Aku
benar2 posesif, ingin memiliki dan melayani dia secara total. Setiap hari
aku
bangun sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia benar2 tidur,
untuk memastikan dia sudah benar2 tak perlu aku layani lagi. Aku
siapkan celana, baju, kaus kaki dia tiap pagi sebelum berangkat kerja.
Sehingga
dia tak perlu lagi memikirkan pakaian apa yg harus dia pakai tiap pagi.
Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang Pokoknya dia benar2 aku
jadikan pangeran bagi diriku.

Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan saling mengajarkan
bahasa. Dia mengajariku bahasa jawa, sadangkan aku mengajari dia bahasa
mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin, dalam waktu singkat dia
sudah menguasai beberapa kata2 yg umum diucapkan, kadang dia mengajak ku
bicara mandarin dirumah. Memang perusahaan tempat dia bekerja milik keluarga
dari etnis keturuan seperti aku, dan banyak behubungan dengan warga
keturunan, sehingga bila mampu berbahasa mereka akan merupakan keuntungan
tambahan.

Suatu ketika dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan kalau
kantornya memberinya pinjaman cicilan motor. Memang hanya sepeda motor, tapi
aku
sangat bahagia sekali dengan yg dia dapatkan. Berulangkali dia minta
maaf tidak bisa belikan aku mobil mewah seperti yg aku pernah aku miliki
dulu. Aku katakan pd dia motor yg sekarang kita miliki bagiku jauh lebih
mewah dari mobil yg dulu aku miliki. Karena motor ini bukan sekedar dibeli
dengan uang, tapi juga cinta, yg tak akan ternilai berapapun banyaknya
uang. Kehidupan perkawian kami amat
indah, kalau dirumah nyaris kami tak
bisa
berjauan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya
setahun kemudian lahirlah anak pertama (dan satu2nya) kami. Bayi laki2 itu
kami
namai, sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yg membacakan Azan dan qomat,
ketika bayi kami lahir. Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari
aku
tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang "Fariz" didalam rumahku. Saat
mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah
bahagianya. Aku mencintai 2 orang yg sama darah dagingnya.

Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami.
Mas Fariz terus bercita2
ingin mendatangi orangtua ku, oma opa si Faisal.
Dia benar2 ingin
memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mama ku lagi.
Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku.
Tapi tiap kali aku menelpon papa mama ku masih bersikap seperti dulu,
bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dari ku,
mereka hanya menjawab, kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dari
ku..Ohh malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mama ku berkata
spt
itu. Aku masih memaklumi ap
abila mereka membenciku, tapi jangan pada
anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.
Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama
akan menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah
mulai datang....

Suatu ketika, mas Fariz pulang kerumah lebih awal, dia cuma merasa gak
enak badan seperti orang masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat
dan tidur, dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai
panas dan menggigil. Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter,
waktu itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga
hanya diberi obat penurun panas, dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuh
nya tetap panas, dan menggigil, bahkan sampai mengigau. Aku sudah ajak mas
Fariz untuk ke rumah sakit keesokan harinya. Tapi dia menolak, karena
dia bilang hanya demam biasa, dan tak apapa, beberapa hari pasti sembuh.
Sampai hari ke empat kondisinya makin parah, akhirnya disampai tak
sadarkan diri, bahkan dari hidungnya kaluar darah. Dengan pertolongan
para tetangga, suamiku segera dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan daranhnya
menunjukan trombositnya hanya tinggal 26ribu. Padahal orang normal
harus diatas 150rb. Suamiku terkena demam berdarah, Dokter menyalahkan aku
kenapa tidak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberat
demam berdarah adalah pada hari 5. Kalau kondisi tubuh tidak kuat, bisa
amat berbahaya. Besoknya, hari ke 5, memang benar2 makin parah kondisi
suamiku, napasnya makin berat, trombositnya belum beranjak naik,
tubuhnya udah benar2 digerogoti penyakit itu, malam itu setengah mengigau,
dia
memanggil namaku, lalu aku genggam tangannya dan aku dekati telingaku
ke mulutnya, aku bisa dengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu, dan air
matanya meleleh. Dia coba ucapkan kata2 "Maafkan aku" lalu aku
tenangkan dia, kalau tak ada yg perlu dimaafkan. Aku iklas lahir bathin
mendampingi dia. Setelah mendengar kata2ku, dia tampak tenang, lalu dengan
satu
tarikan napas dia coba mengucapkan "Lailahailallah" lalu dia pergi
selama2nya meninggalkan aku. Dia pergi di pelukan ku. Aku ingat suatu
ketika dia pernah berucap, andai Tuhan mengijinkan, dia ingin meninggal
terlebih dahulu dari aku, dan dalam pelukanku, sebab ia ingin aku
menjadi orang terakhir dalam hidupnya yg dia lihat. Aku sempat memarahi dia,
jangan bilang seperti itu. Tapi dia bilang serius, kalau dia gak akan
sanggup kalau aku yg meninggalkan dia terlebih dahulu. Ternyata Tuhan
benar2 mengabulkan permohonan dia. Orang yg aku jadikan sandaran
satu2nya dalam hidup ini telah pergi selama2nya. Tak terkirakan amat sedih
dan
hancurnya hatiku. Andai aku tak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin
aku sudah ingin segera mengusul mas Fariz dialam sana.

Mas Fariz benar2 orang yg jujur dan baik, waktu penguburan seluruh
rekan2 kerja, bahkan big boss tempat bekerja hadir. Waktu aku tanyakan
apakah
ada hutang piutang mas Fariz yg harus aku selesaikan. Mereka katakan tidak
ada sama sekali, bahkan kantornya memberikan santunan 4x gaji, ditambah
uang duka dari rekan2nya. Aku juga ditawarkan bekerja di perusahaan tsb.
Tapi untuk saat itu aku benar2 gak sanggup melakukan apapun. Aku merasa
setengah dari nyawaku sudah hilang. Selama 3 bulan aku berduka, aku tak
sanggup pergi dan melakukan apapun. Bahkan tiap tidur, aku masih
membayangkan mas Fariz disampingku. Akhirnya untuk semantara waktu aku
tinggal dengan ibu mertuaku, supaya Faisal ada yg mengasuh. Rumah dan
motor aku jual, karena aku tak sanggup membayangkan kenangan bersama
mas Fariz tiap aku melihatnya. Hampir setengah tahun tinggal dengan
mertuaku, sampai
akhirnya aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertuaku amat
baik
dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri gak mungkin selamanya bergantung pada
siapapun. Aku harus bisa m
andiri, membesarkan anakku, satu2nya hartaku
yg tersisa.

Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yg aku punya. Lalu aku
mengontrak rumah, dan membuka toko kecil2an di depannya. Tetapi mungkin
karena aku masih terus berduka dan terbayang suamiku, sehingga aku
kadang kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku ini bangkrut.
Tokokupun aku tutup, uangku h
abis untuk membayar tagihan2 para suplier
barang, semantara penjualanku tak seberapa menguntungkan.

Aku sebenarnya tidak pernah putus asa, apapun aku jalani asal halal.
Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi hanya beberapa bulan,
karena anakku tak ada yg jaga. Sampai akhirnya aku benar2 keh
abisan uang,
tak
sanggup lagi membayar kontrakan. Dengan membawa koper isi pakaian, aku
menggendong anakku, berjalan tanpa tujuan. Aku benar2 bingung akan
kemana Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi justru
dengan kondisi seperti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan
tertawa terbahak2 dan terus bisa mengejek ku seumur hidupku, bahwa aku
gagal dalam memilih jalan hidup. Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku
teringat masjid tempat dulu aku pertama kali mengucapkan kalimat
sahadat. Masjid itu memang bukan masjid raya dikota kami, tapi karena masjid
yg
tua dan bersejarah, maka banyak jemaah yg datang. Aku berpikir, dulu aku
memulai jalan hidupku dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tsb. Dan aku
shalat mohon petunjuk. Anakku karena kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Rupanya tangisku didengar oleh seorang bapak, dan beliau rupanya imam
masjid tersebut, dan dia yg dulu membimbingku membaca syahadat. Aku tak
lupa dengan wajahnya, tetapi dia pasti sudah tak ingat dengan wajahku,
karena wajahku tak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku
dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yg beliau bimbing, dia langsung ingat
tapi juga kaget dengan kondisiku yg seperti ini.
Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tak ada
lagi orang di dunia ini yg aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi
kemana2, dan tetap tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah
seorang jemaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar
kemudian
dia pergi meninggalkan ku, sambil berpesan akan segera kembali
menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat untuk aku bisa tinggali). Tak
lama
beliau kembali menemui ku, sambil tersenyum dia katakan, mulai malam
ini aku sudah memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid,
disitu ada sebuah bagunan tambahan yg terdiri dari beberapa ruangan.
Biasanya
ruangan itu untuk gudang menyimpan peralatan masjid, seperti tikar,
kursi2, dll. Salah satu ruangnya tampak sudah kosong, dan dia menunjuk
bahwa itu lah rumah ku. Aku boleh menempatinya selama mungkin aku mau.
Ruang disebelahnya ditempati olah pak tua penjaga masjid, sehingga aku
ada yg menemani. Ruangan tsb hanya berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam
masjid itu juga menambahkan, kalau nanti aku diberikan honor
sekedarnya, kalau mau membantu2 membersikan masjid, sehingga cukup untuk
makan.
Bahkan beliau menambahkan kalau aku bisa datang kerumahnya sekedar2
membantu2
istrinya memasak, kerena memang rumah beliau hanya beberapa ratus meter
dari masjid.

bersambung...

Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments